Jumat, 10 Juni 2011

Mozaik Indah Bersama Sang Murabbiyah (part 2)


Islamedia - Rasanya tak akan habis tinta ini untuk menuliskan segala keutamaan beliau, Asyahidah Ustadzah Yoyoh. Meski aku hanya berjumpa beberapa kali saja. Meski mungkin beliau juga tak hafal betul namaku siapa. Tetapi, setiap pertemuan dengan beliau selalu penuh makna, berkesan sangat dalam.

Satu saat, waktu berkunjung ke rumah beliau di kompeks DPR Kalibata, tahun 2006-an kalau tak salah, aku memandang takjub karena di dekat ruang tamu ada freezer besar berisi aneka sea food dan ikan beku. Di depan rumah juga terpampang spanduk iklan: SEDIA NUGGET, FILLET IKAN, bla bla bla.


Meski pun hal seperti ini biasa aku jumpai di rumah tangga lainnya, tapi bagiku kali ini menjadi tidak biasa, karena beliau adalah anggota DPR RI, yang secara fasilitas tercukupi. Tapi kehidupan beliau tetap bersahaja. Mungkin, usaha itu dimaksudkan bukan semata untuk menambah penghasilan, tapi juga untuk melatih jiwa enterpreneur putra-putranya. Belajar bagaimana menjemput rizki dari Allah melaui upaya-upaya riil, tidak sekedar minta pada orang tua. Aku sendiri tak yakin, apakah anggota-anggota DPR lain, apalagi yang tidak paham tentang missinya sebagai aleg, mau menyediakan dagangan semacam itu di bagian depan rumahnya, ataukah gengsi mereka jauh lebih besar dari pada semangat untuk berwirausaha.

Ummu Umar memang orang yang ‘aneh’, ghuroba. Dilihat dari jumlah anaknya saja di jaman kiwari seperti ini, sudah membuat banyak orang terheran-heran. Dengan jumlah putra 13 orang, Ummu Umar termasuk sedikit di antara ummahat yang jumlah anaknya lebih dari 10, berasal dari satu rahim! Artinya, kekuatan fisik beliau juga luar biasa. Karena kalau cuma kemauan beranak banyak saja tapi tanpa diiringi dengan ketangguhan fisik yang mumpuni, pasti dokter sudah melarang jauh-jauh hari untuk terus-menerus hamil dan melahirkan, dalam usia yang tak muda lagi dan dalam jarak yang cukup rapat.

Aku pernah mendengarkan kisah, saat ditanyakan pada beliau, “Hal apa yang Ummi anggap paling menyenangkan dalam hidup ini?”
Beliau menjawab, “Salah satunya adalah saat melahirkan. Karena pada saat itu, ada rasa luar biasa sebagai seorang ibu. Juga ada perhatian suami yang begitu besar pada saat seperti itu. Beliau sedapat mungkin mendampingi saya, dan kadang memberikan saya bunga sebagai tanda cinta”
Duhai, pasangan yang sangat harmonis.

Pernah juga kudengar, sewaktu putrinya (kalau tak salah dik Asma) melanjutkan ke pesantren. Meskipun sang anak dibekali hape, tapi ummu Umar tetap menginginkan komunikasi lewat surat pada orang tua, “Ummi maunya surat, bukan sms atau telpon”.
Tentu ini dikecualikan untuk hal-hal yang sifatnya darurat.

Subhanallah, beliau sejak awal melatih anaknya untuk piawai menggunakan bahasa tulis. Karena, bagaimanapun, menyampaikan suatu maksud secara tertulis itu lebih rumit dari pada secara lisan atau bahasa sms.
Padahal, melalui tulisan, sesuatu akan lebih dikenang, meski itu terjadi puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Mengabadikan segala hal yang dilihat dan dialami ke dalam tulisan, menjadikannya bernilai sejarah, dan menjadi pembelajaran bagi generasi berikutnya.

Saat aku berkunjung ke rumah Kalibata itu, beliau juga bercerita tentang pertemuannya dengan akhwat di berbagai belahan dunia, “Akhowatii, setiap saya bertemu dengan akhwat dan ummahat di berbagai negara, saya merasa kami semua tiba-tiba begitu dkat, tiba- tiba saja akrab satu sama lain, layaknya saudara. Padahal secara fisik, justru baru pertama kali bertemu. Saya berpikir, kok bisa ya? Padahal kan ini baru pertama ketemu, dan selama ini juga benar-benar belum saling kenal lewat media lain…”

“Akhirnya saya menemukan jawabnya, akhowatii. Meskipun sebelumnya kami tak saling kenal, tapi sebenarnya hati kami sudah lama dikenalkan dan disatukan oleh Allah. Ya! Lewat doa robithoh yang sama- sama kita lantunkan tiap pagi dan petang. Sehingga saat bertemu dengan akhwat yang juga rutin melantunkan doa tersebut, langsung terasa dekat dan akrab, seperti sudah kenal bertahun-tahun lamanya”

Subhanallah, haru sekali aku mendengar penjelasan beliau. Doa robithoh, doa pengikat hati itu, benar-benar telah mengikat hati sesama muslim dan muslimah, meskipun fisik dan pikiran belum mampu mendeteksi dan mengenalinya, tetapi hati yang bersih, telah bekerja lebih dulu, mengenali saudaranya dengan sangat baik.

Duuh, sungguh aku malu. Kadang, Al-Ma’tsurat, yang di dalamnya terkandung doa robithoh, masih bolong-bolong kubaca. Kadang cuma pagi, kadang petangnya saja, kadang ada kalanya lalai tak kubaca. Itu pun masih lebih sering membaca yang ma’tsurat sughra (bukan qubra), yang dalam pengantarnya dikatakan bahwa: jika antum dalam keadaan futur, bacalah ma’tsurat sughra.

Hiks-hiks, jelas tertuliskan di sana, jika sedang futur ‘jatah’nya hari itu adalah Al-Ma’tsurat sughra, bukan dimaklumi untuk tidak baca Al-Ma’tsurat. Terus, macam aku yang kadang lalai baca Al-Ma’tsurat setiap harinya, apa namanya? Futur sekali? Futur kuadrat? Hiks....

Dalam kesempatan lain, Ramadhan tahun 2008, saat kami mengadakan Musabaqah Hidfzil Quran (MHQ) khusus akhowat Juz 29-30, beliau sengaja diundang untuk memberikan tausiyah. Ummi bercerita bahwa di Mesir dia menjumpai seorang nenek yang sengaja tinggal di ma’had (pondokan) dan nenek itu dengan mata tuanya sering sekali komat-kamit sambil memegang Qur’an. Lalu nenek itu ditanya oleh Ummu Umar, mengapa berada di sana.

“Saya sengaja berada di sini, untuk ‘uzlah’ selama 2 tahun dengan target bisa hafal Qur’an 30 juz setelahnya. Saya sudah berpamitan pada keluarga dan mereka menyetujui rencana saya ini”, jawab si nenek, mantap.

Hiks, nenek-nenek saja punya azzam yang begitu kuat untuk menghafal Qur’an. Lha ini, emak2 yang masih segar bugar kok MHQ pun baru berani juz 29-30? Jauh benar rasanya :(

Ummu Umar lalu memberikan nasehat, “Jadi akhowati, jangan pernah merasa cukup dengan hafalan yang ada saat ini. Harus punya cita-cita bahwa suatu saat nanti, dalam hidup kita, kita akan menjadi seorang HAFIDZAH, penghafal Qur’an. Entah itu akan tercapai pada usia ke berapa, 40 tahun, 50 tahun, atau lebih 60 tahun seperti nenek-nenek tadi. Yang penting, canangkan dari sekarang bahwa umur sekian saya harus sudah selesai menghafalkan Qur’an”

Begitu bersemangatnya ummi menjelaskan, dan kabarnya beliau sendiri memang sudah hafal Qur’an, sekarang. Yang itu juga dicapainya setelah memiiki banyak anak. Ya! Di sela-sela kesibukannya yang padat, beliau mampu mengejar ketertinggalan hafalan yang semula (baru) 20 juz. Semangat yang terlecut setelah bertemu dengan ummahat Palestina yang rata2 mereka adalah hafidzah, yang anak2nya masih kecil tapi sudah hafidz-hafidzah, meski dalam kondisi perang dan ketidakpastian. Sangat berbeda dengan kondisi Indonesia yang aman damai sejahtera. Malu hati, Ummu Umar mampu melecut dirinya sendiri untuk mengejar ketertinggalan hafalannya.

Tak hanya itu. Beliau juga sudah menghafalkan 500-an hadits, dan di sela-sela jadwal kesibukanya yang padat tetap komitmen tilawah 3 juz tiap harinya. Tilawah dimana pun dan kapan pun, sebagai salah satu wasilah untuk berdoa pada Allah, meminta penjagaan anak-anak yang karena tugas dakwah, tak setiap waktu bisa dibersamai. Kadang tilawah senndiri, kadang saling simak bersama Ust Budi.

Subhanallah, kondisi beliau yang sibuk luar biasa sebagai seorang daiyah dan politisi, memiliki 13 putra (yang bagi orang kebanyakan tak terbayangkan repotnya), tapi tetap mampu memacu diri untuk menghafal Qur’an, 500 hadits, dan rutin tilawah 3 juz tiap hari.

Lalu, bagaimana dengan kamu, Ning? Apa saja kesibukanmu sehari-hari? Sibuk urusan dakwah atau urusan pribadi? Sudah berapa juz Qur’an dan hadits yang sudah kamu hafal? Berapa halaman tilawahmu tiap hari?
Astagfirullah, jauuuuuuh, sungguh masih sangat jauh dari beliau :(

Ummu Umar.... sunggguh kami masih sangat memerlukan bimbinganmu....
(bersambung bagian ke 3)

#Pamulang (masih) kelabu di 3 hari berpulangmu, 24 Mei 2011

Mukti Amini, S.Pd, M.Pd.

sumber : http://www.islamedia.web.id/2011/05/mozaik-indah-bersama-sang-murabbiyah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas commentnya