Sabtu, 05 Desember 2009

Marwah Daud Ibrahim, Ph.D; Karena Hidup Harus Dikelola dan Direncanakan


Marwah Daud dikenal sebagai perempuan yang cerdas dan sukses dalam setiap bidang yang digelutinya. Semua tak terlepas dari kebiasaannya merumuskan kehidupannya dalam formula yang jelas.

Bagi Marwah Daud Ibrahim, Ph.D, anggota DPR-RI serta sekretaris umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), cita-cita dan rencana tak cukup hanya berada pada skup diri dan keluarga saja. Pun tak cukup hanya untuk beberapa puluh tahun ke depan saja. Lebih dari itu cita-cita seseorang haruslah melintasi negara dengan manfaat yang usianya jauh lebih panjang daripada usia hidup seseorang di muka bumi. Tak heran kalau ia optimis dengan sasaran Nusantara Jaya 2045 yang tak hanya berjaya memimpin peradaban di Asia namun juga dunia. Tentunya dengan syarat, harus dilakukan bersama-sama dan dengan perencanaan yang matang.

Marwah mengakui cita-cita Nusantara Jaya 2045 adalah pemikiran yang bersifat evolutif. Dalam artian pencapaiannya bukan hanya tahunan namun lintas generasi. Anak cucu kitalah yang kelak akan merasakannya. Dan cita-cita itu bukannya tanpa dasar. “Saya melihat betapa potensialnya Indonesia. Sumber daya alamnya, sumber daya manusianya, sumber pendukungnya, luar biasa,” tutur perempuan yang menyelesaikan master dan doktor di bidang komunikasinya di Washington DC, Amerika Serikat itu. Dengan segala daya tadi sebetulnya Indonesia bisa berjaya. Sayangnya, menurut Marwah, di Indonesia banyak sekali paradoks. Masih ada orang kelaparan, masih banyak anak yang belum mendapatkan pendidikan yang layak, dan sebagainya.

Salah satu langkah nyata Marwah adalah dalam usaha pengembangan pedesaan, sebuah proyek percontohan yang bekerja sama dengan pemda lima kabupaten seluas 10.000 hektar di lokasi bekas perambahan hutan di kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Proyek yang diberi nama Bukit Sutra ini mempunyai produk unggulan sutra. Awalnya daerah itu sepi penduduk dan mereka hidup dalam keprihatinan. “Kita coba merancang kehidupan di sana dan kita bikin sekolah. Begitu ada sekolah, penduduk mulai berdatangan,” ceritanya. Kini di tempat yang baru tergarap 250 hektar itu sudah tersedia listrik, unit industri, serta sekolah dari TK-SMA serta pesantren. Rencananya program seperti itu akan dikembangkan pula di daerah lain.

“Tapi langkahnya harus serempak. Pemerintah, ormas, masyarakat, media, dan pengusaha harus terlibat. Kalau kita yakin, semua itu bisa,” ucap Marwah yang punya motto setiap detik adalah amanah dari Allah swt itu.

Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan

Bagi Marwah, kesuksesan bisa dicapai bila kita mampu mengelola hidup dan merencanakan masa depan seperti apa yang kita inginkan. Kesadaran ini didapatnya saat harus memulai program doktoral saat tengah hamil 7 bulan.

Ucapan sang ketua program doktoral bidang komunikasi di American University, Washington DC, telah memacunya untuk menjalankan pemetaan itu. Marwah adalah salah satu dari 13 orang yang diterima pada program ini di antara ratusan orang pelamar, maka kesempatan ini tak mungkin disia-siakannya walau tengah hamil. Melihat kondisi Marwah yang sedang hamil, sang profesor mengatakan, “Jika Anda tidak yakin untuk bisa menyelesaikan program, lebih baik dari sekarang Anda mengambil keputusan agar jatah dapat diberikan kepada orang lain.” Namun dengan yakin Marwah menyatakan bahwa ia insya Allah akan menjadi salah seorang yang tercepat lulus di angkatannya.

Selepas itu istri Ibrahim Taju ini merenung dan meninggalkan kampus dengan ketetapan tekad bahwa ia akan bisa selesai tepat waktu. Mulailah ia merencanakan langkah-langkah detail tentang apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan program doktornya, dari mencari bahan-bahan apa saja yang perlu dibaca, berapa mata kuliah yang harus diambil, kapan harus mulai menetapkan judul desertasi, dan sebagainya. Bertanya dan berdiskusi dengan para senior tak luput pula dilakukannya.

Dengan kelahiran buah hati, Marwah harus semakin ketat mengatur jadwal. Dari situlah ia mulai mengembangkan sistem Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan (MHMMD) dengan membuat peta hidup. Pada musim semi tahun 1985, selama berhari-hari ia menyusun peta hidupnya selama 5 tahun ke depan. Di dalam peta tersebut Marwah tak hanya menuliskan hal-hal yang terkait dengan studinya, namun juga seluruh rencana hidupnya dalam jangka waktu 5 tahun, termasuk jadwal puasa sunah, jadwal belanja, imunisasi anak, dan sebagainya. Peta hidup yang berbentuk kalender di atas kertas karton besar tersebut kemudian ia tempelkan di dinding untuk mengingatkannya setiap waktu. Hasilnya, pada tahun 1989 ia berhasil lulus nomor dua tercepat di angkatannya. “Tanpa peta, saya akan mudah menyerah dan mudah berubah-ubah,” tegasnya.

Kini kiat suksesnya itu ia bagikan kepada orang lain melalui pelatihan basic life skill MHMMD yang mengajak peserta merencanakan hidupnya, mulai dari harian sampai pada harapan hidup usia seseorang.

Badan di Desa, Pikiran Mendunia

Marwah lahir di Takalala, Soppeng, Sulawesi Selatan pada 8 November 1956, dari pasangan Muhammad Daud, seorang guru SD, dan Rahman Indang, seorang ibu rumah tangga. Pada umur beberapa minggu, ia beserta keluarga pindah ke Dusun Pacongkang, Desa Barang, kecamatan Liliriajaya, Soppeng mengikuti sang ayah yang mendapat tugas mengajar di sana.

Cara mendidik ayah dan ibunya yang berorientasi pada kemajuan anak-anaknya sangat mempengaruhi Marwah dan saudara-saudaranya untuk terus maju dan tak kenal kata menyerah. Sang ayah kerap mengajak anak kedua dari delapan bersaudara ini untuk merenung, melihat fenomena alam. Kisah-kisah tentang kejujuran, pembelaan pada kaum miskin pun selalu diceritakan sang ayah. Hal inilah yang membuat Marwah tumbuh menjadi pribadi yang selalu berpikir panjang dalam merencanakan hidupnya.

Semangat untuk menjadi seorang perempuan yang maju dan berdaya didapatnya juga dari sang ibu. Bagai mantra ajaib, sang Ibu selalu mengulang-ulang kalimat, ”Dulu saya ingin sekali sekolah, lalu bisa bekerja, tapi karena tamat SMP sudah dinikahkan jadi tidak bisa lanjut. Saya berdoa agar anak perempuan saya bisa sekolah tinggi dan bekerja baik sehingga bisa membantu banyak orang.” Terbukti, “mantra” itu betul-betul melecut Marwah untuk maju.

Sejak SD, Marwah sudah terbiasa melahap berbagai jenis buku dan mengenal berbagai tokoh dunia mulai dari tokoh nasional seperti Hatta dan Buya Hamka sampai tokoh dunia semisal Socrates, Montessori, dan Al Ghazali. Kesukaannya membaca tak lepas dari peran sang ayah yang memang menjadikan rumah mereka sebagai pusat kegiatan masyarakat termasuk tempat orang-orang bisa membaca koran. “Badan saya ada di desa yang bersinarkan lampu templok, tapi pikiran dan dan imajinasi saya keliling Indonesia dan mengintip dunia melalui lembaran buku dan peta dunia,” ujar Marwah.

Pada tahun 1970 Marwah harus berpisah dengan keluarga untuk melanjutkan ke SPGN Negeri di Watan Soppeng. Hal ini semakin memacunya untuk mandiri. Ketika keluarganya pindah ke Makasar, Marwah kemudian bergabung dan berhasil lulus dengan predikat siswa teladan meskipun ia belajar sambil mengikuti kursus menjahit dan mengetik.

Selepas SPG, keinginan Marwah untuk kuliah dan bisa melihat dunia tak terbendung. Meskipun bukan berasal dari keluarga berada, namun keinginannya untuk maju didukung penuh oleh keluarga besarnya yang kemudian urunan untuk biaya kuliah Marwah. Saat itu Marwah yakin bahwa ia hanya butuh biaya untuk masuk saja sedangkan biaya selanjutnya akan ia cari sendiri. Ia akhirnya bisa masuk ke jurusan Komunikasi di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makasar. Beruntung, di Unhas kala itu sedang digulirkan “Works study program” yang memungkinkan mahasiswa bekerja di lingkungan kampus. Marwah pun kemudian bekerja di koran kampus dan menjadi MC universitas sehingga bebas dari SPP.

Jadwal “Lengket”

Di tengah kesibukan yang mendera, Marwah punya cara jitu dan simpel untuk membangun kedekatan dengan anak-anaknya, Dian Furqani Ibrahim (24), Akmal Firdaus Ibrahim (20), dan Bardan Raiyhan Ibrahim (12). Sejak anak-anaknya kecil Marwah membiasakan untuk selalu memeluk anak-anaknya. Lengket, begitu istilah Marwah. “Kadang kita berpelukan sama-sama sampai nggak bisa bernafas,” katanya sambil tertawa. Bagi Marwah kedekatan semacam itu, meski kelihatan sederhana, amat penting untuk dibangun. “Mereka bisa dapat makan enak dari restoran, bahasa Inggris bisa kursus. Tapi yang memeluk, mencium, mengusap dahi tidak bisa digantikan oleh orang lain,” tegas Marwah yang bahkan memasukkan jadwal lengket itu ke dalam jadwal hariannya. “Kadang kalau sudah beberapa hari nggak lengket kangen juga,” imbuhnya.

Selain kasih sayang, Marwah juga menanamkan keyakinan diri pada anak-anaknya. “Keyakinan diri merupakan modal termahal yang bisa diberikan orangtua kepada anaknya dan guru kepada anak didiknya,” tuturnya. Ada peristiwa unik ketika Marwah ingin menanamkan rasa keyakinan diri pada Akmal, putra keduanya. Saat Akmal berusia lima tahun, Marwah membawanya berjalan-jalan di sekitar rumah mereka di daerah Bintaro. Mereka melewati sebuah lubang galian sedalam dua meter dengan lebar 4 meter. Marwah pun meminta Akmal menyeberangi lubang itu. Berkali-kali Marwah meminta, Akmal tetap menolak karena takut. Saat itu keyakinan Marwah adalah sekali sang anak bisa melewati rasa takutnya maka seumur hidup ia akan bisa melewati berbagai rintangan dan rasa takut. Maka dua jam selanjutnya pun dihabiskan Marwah untuk membujuk Akmal dengan cara menyanyikan kata-kata,” Akmal bisa, Akmal bisa.” Hingga akhirnya Akmal pun berani menyeberang.

Tak hanya itu, kebiasaan memetakan hidup pun sudah menular pada anak-anaknya. Dian, sang putri sulung misalnya, mengambil kuliah di fakultas kedokteran Unhas dan menikah saat kuliah. Kini ia sudah berhasil menjadi seorang dokter, menikah, dan memberi Marwah dan suami seorang cucu. “Dia bahkan meraihnya lebih cepat dari rencananya,” syukur Marwah.

Marwah, orang-orang terdekatnya dan banyak orang lainnya telah mengambil manfaat dari kebiasaan mengelola hidup dan merencanakan masa depan ini. Karenanya perempuan yang telah melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia ini – sebagaimana rencananya dulu – amat yakin bila masyarakat kita membiasakan diri melakukan perencanaan dan pengelolaan hidup ini masa depan yang lebih pasti dan lebih cerah bisa diraih. (sumber : http://www.ummi-online.com//index.php?option=com_content&task=view&id=446&Itemid=1)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas commentnya