Kamis, 31 Desember 2009

Pesan Ini, Nak, Kutulis untukmu...

Aku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.

Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap…

Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.

Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada doa yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.

Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa ditempuh dengan waktu singkat.

Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?

Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata perkiraan itu benar.

Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan kening yang hina ini untuk berdoa kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban—ah, rasanya bapakmu belum santun dalam berdoa. Kumohon dengan sangat agar Ia memberi pertolongan.

Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.s. al-‘Alaq [96]: 1-5).

Seusai shalat dua raka’at dan memanjatkan doa, anakku, segera bapakmu ini mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris tak percaya, anakku, Allah Ta’ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu. Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.

Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab r.a., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”

Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam al-Qur`an, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.s. Muhammad [47]: 7).

Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatullah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.

Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam akidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.

Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung jawab dan lupa pada diri sendiri.

Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari, kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari zikir-zikir panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.

Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.

Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.

Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.

Diambil dari Buku yang berjudul ‘Saat Berharga Untuk Anak Kita’

Penulis: Mohammad Fauzil Adhim

Penerbit : Pro U Media

Sabtu, 26 Desember 2009

Berinteraksi Tanpa Terkontaminasi

Bagi sahabat-sahabat yang pernah baca buku “ Tarbiyah Menjawab Tantangan” pasti deh nggak asing dengan judul diatas. Soalnya tulisan ini merupakan resensi dari salah satu tema yang ada dibuku tersebut. Semoga aja bermanfaat ya…..soalnya isinya merupakan tausiyah (nasihat) bagi saya pribadi dan saya ingin berbagi dengan sahabat-sahabat.

Eksistensi manusia dimuka bumi ini mempunyai misi yang jelas dan pasti. Ada tiga misi yang diberikan Allah untuk diemban manusia yaitu :
· Misi utama untuk beribadah (Qs 51:56)
· Misi fungsional sebagai khalifah (Qs 2:30)
· Misi operasional untuk memakmurkan bumi (Qs 11:61)
Adapun manusia yang mampu menerjemahkan ketiga misi mulia itu ke dalam bahasa lisan, sikap dan tindakan adalah manusia yang beriman kepada Allah SWT. Manusia yang senantiasa merespon seruan dengan mengucapkan kalimat;”sami’na wa atho’naa”. Inilah syiar kehidupan manusia yang qurani dan rabbani.
Oleh karenanya misi ini bukanlah merupakan tugas yang ringan, sampingan ataupun juz’iah(parsial) tanpa dibarengi dengan usaha-usaha maksimal, melainkan suatu urusan yang besar dan agung, dimana berkaitan dengan pembentukan syakshiah islamiah, kelestarian system-siatem ilahiah dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Seperti kata Sayyid Qutb: “Barangsiapa menganggap ringan kewajiban (da’wah) ini padahal ia merupakan kewajiban yang dapat mematahkan tulang punggung dan membuat orang gemetar, maka ia tidak bisa melaksanakan secara berkesinambungan kec atas pertolongan Allah. Ia tidak akan dapat memikul beban da’wah kec atas pertolongan Allah dan tdk akan bisa teguh diatasnya kec dg keikhlasan pada-Nya…(Sayyid Qutb, Tafsir Fii Zhilaalil Qur’an)
Dan untuk mensukseskan pelaksanaan amanah yang agung ini maka dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki iman yang kuat, keikhlasan, hamasah yang membara dan amal yang mustamir.

URGENSI BERDA’WAH
· Berda’wah bertujuan dan berorientasi pada perbaikan individu muslim, pembentukan keluarga muslim, pembinaan masyarakat Islam, pembebasan tanah air dan hegemoni asing, perbaikan hukuman (pemerintahan) agar menjadi hokum islamiah yang senantiasa mempehatikan kemaslahatan umat menjadi “ustadziatul ‘alaan” (soko guru dunia) yang merupakan risalah para nabi dan rasul.
· Berda’wah juga merupakan kewajiban syar’I yang harus dilakukan oleh setiap umat islam. Kalau nggak percaya sok atuh buka Qs.3:104 J.
· Da’wah juga merupakan kebutuhan masyarakat. KENAPA? Karena dengan da’wah maka masyarakat mampu memahami nilai-nilai kebenaran Islam, mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil serta dapat mengaplikasikan ajaran islam ini melalui sentuhan lembut tangan para da’I yang bijak, para penunjuk jalan yang tegar dan para mubhaligh yang sabar.
Jadi jelaskan Saudaraku sekalian bahwasannya sebagai seorang muslim yang notabene memegang identitas Islam harus berpartisipasi dalam mengemban amanah da’wah ini. Apalagi kita sebagai pemuda, dimana kita harus dinamis dalam membangun jaringan da’wah dan pro aktif dalam memperbaiki masyarakatnya. Dan kalau saya boleh mengutip puisinya Imam Syafi’I, beliau berkata : “ Siapa yang tidak mau ta’lim (da’wah/membina) pada masa mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena ia telah (mati sebelum ia mati)”

NAKHTALITHU (BERBAUR DAN BERINTERAKSI)
Setelah kita memahami urgensi berda’wah diatas dan kita mampu mengislahkan diri kita dan mempersiapkan bekal dakwah yang memadai baik itu dari segi ruhiyah, jasadiyah maupun aqliah maka saatnya kita harus bergaul (nakhtalith) dengan masyarakat untuk menyerukan nilai-nilai kebenaan islam. Kita pun harus proaktif dalam melakukan interaksi social ditengah masyarakat untuk menebarkan cahaya islam (Qs 6:122)
Hal diatas itu tidak akan terrealisasi kecuali dengan tiga hal yaitu ;
· Umuumud di’aayat (gencarnya dan tersebarnya pesan sponsor da’wah yang membentuk opini umum)
· Katsratul anshaar (banyaknya pendukung yang mampu membentuk jaringan-jaringan da’wah)
· Matanatut takwiin (kekokohan pembinaan yang mampu membangun wajihat-wajihat amal)

NATAMAYAZU (tampil beda dan istimewa)
Kita semua tahu disaat kita berinteraksi dan berda’wah ditengah-tengah masyarakat kita akan berhadapan dengan berbagai macam watak, sikap, budaya dan nilai-nilai social yang jauh dari bingkai moral keagamaan. Bahkan mungkin karena perbedaan yang terjadi itu kita menjadi larut dalam kebiasaan yang tidak islami tesebut dan bisa jadi kita menjadi lupa dengan prinsip kebenaran islam yang selama ini dipupuk (Na’uidzubillahi min dzalik).
Karena itu meskipun kita berinteraksi dengan seluruh lapisan masyarakat, kita harus mempertahankan prinsip kebenaran islam. Untuk itulah kita harus memiliki benteng ‘mumaayazah wa muwaashalah’ (pembeda dan pembatas) yang mampu menjembatani antara diri kita dan nilai-nilai destruktif yang tejadi didalam masyarakat.
Ingat prinsip da’wah kita adalah ‘nakhtalithu wa lakin natamayyazu’ (berinteraksi tanpa terkontaminasi). Sebagaimana firman Allah dalam Qs 5:48 dan Qs 23:71.
Oleh karena itu seorang kader sebelum terjun dalam medan da’wah harus membekali dirinya dengan bekal ruhiah yang kokoh selan bekal ilmiah dan manajerial.

Jadi sahabatku, mulai saat ini Insya Allah tidak ada lagi perasaan takut untuk pulang ke kampung halaman, takut untuk terjun ke dunia pasca kampus (soalnya ini saya alami juga loh ), hanya karena kita takut setibanya kita disana maka ghiroh kita akan turun ataupun kita futur. Justru da’wah kita sebenarnya adalah disana, mari kita ajak keluarga kita, ayah, ibu, kakak, adik maupun saudara-saudara kita untuk dapat dan turut pula merasakan indah dan damainya islam. Ingat!! kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi jika kita tidak pernah mencoba. Memang dalam berda’wah itu sangat membutuhkan kesabaran dan penuh dengan lika liku. Tapi Ingat kita punya ALLAH SWT yang senantiasa menolong hamba-Nya yang bersabar, karena itu mintalah doa padanya. Karena doa adalah harapan. Dan harapan adalah masa depan dan sumber kekuatan. Harapan pula merupakan nikmat yang tidak diberikan kepada musuh Allah. Wallahu’alam bi showab. (Hamba Allah yang dhaif)

Sabtu, 19 Desember 2009

Membangun Pribadi Pantang Menyerah

“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97).

Allah telah menciptakan alam dan isinya berpasang-pasangan, sehingga melahirkan hukum tarik menarik antara satu dengan yang lainnya. Artinya kondisi alam ini akan selalu dinamis sesuai dengan kehendak-Nya. Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia, akan mengalami rotasi (perputaran) antara di bawah di atas; sukses-tidak sukses; bahagia-susah, dll. Begitu juga dengan iman kita. Iman bisa datang dan pergi, naik dan turun.

Ibnu Mas'ud mengatakan, “Sesungguhnya jiwa manusia itu mempunyai saat dimana ia ingin beribadah dan ada saat dimana enggan beribadah. Diantara dua keadaan itulah manusia menjalani kehidupan ini. Dan diantara dua keadaan itu pula nasib manusia ditentukan.

Dalam arti lain, semakin seseorang berada dalam iman yang rendah, maka besar kemungkinan dalam kondisi ini akan mengakhiri hidupnya. Demikian sebaliknya, jika seseorang semakin sering berada pada kondisi iman yang tinggi, maka semakin besar peluangnya memperoleh akhir kehidupan yang baik. Pertanyaannya, bagaimana cara mewujudkan kondisi pribadi yang berujung kebaikan, pribadi yang pantang menyerah tersebut?

Pribadi pantang menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya. Ia yakin betul bahwa sekenario Allah itu tidak akan meleset sedikit pun.

Pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, tidak lain adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bersyukur apabila ia mendapat sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesuksesan, medapat rezeki, dll. Sebaliknya, jika ia mendapati sesuatu yang tidak diharapkannya, entah itu berupa kesedihan, kegagalan, mendapat bala bencana, dll., maka ia memiliki ketahanan untuk selalu bersabar. Dan pribadi seperti ini memposisikan setiap kejadian yang menimpanya adalah atas ijin dan kehendak Allah. Ia pasrah dan selalu berusaha untuk bangkit dengan cara mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut.

Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat.

Seseorang menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal, karena ia berbuat gagal. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang menyebutkan bahwa: “Orang mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih baik dari mukmin yang lemah. Jadi, manusia tangguh dam kuat itu, sudah seharusnya menjadi cita-cita kita dalam rangka mengabdi kepada Allah.

Dalam konteks ini, dapat disebutkan bahwa kesuksesan menurut pandangan Alquran itu memiliki dua syarat pokok. Yakni iman dan ilmu (QS. 58: 11). Kedua hal ini, kalau kita kaji secara rinci, jelas-jelas memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia.

Dengan kuatnya iman seseorang, maka ia akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Menurut M. Ridwan IR Lubis (1985), ada tiga pengaruh iman tersebut, yaitu berupa: kekuatan berpikir (quwatul idraak), kekuatan fisik (quwatul jismi), dan kekuatan ruh (quwatur ruuh).

Sedangkan menurut M. Yunan Nasution (1976), mengungkapkan pengaruh iman terhadap kehidupan manusia itu berupa: iman akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda; menanamkan semangat berani menghadapi maut; membentuk ketentraman jiwa; dan membentuk kehidupan yang baik.

Untuk mencapai dampak dari kekuatan iman itu, kuncinya terletak pada pribadi kita masing-masing. Dan kalau kita cermati, sebenarnya pembentukan sifat pribadi pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikir orang tersebut.

Menyikapi keadaan seperti saat ini, kita seharusnya tidak menjadi pesimis dan berserah diri. Kita harus optimis dan selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidup ini. Sehingga untuk menjadikan pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, maka dalam diri kita harus tertanam sikap optimis, berpikir positif, dan percaya diri.

Setiap manusia harus memiliki optimisme dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sikap optimis, langkah kita akan tegar menghadapi setiap cobaan dan menatap masa depan penuh dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Karena garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan-Nya. Tugas kita adalah hanya berusaha, berpikir dan berdoa agar sesuai dengan ridho-Nya.

Setelah kita mampu bersikap optimis, lalu pola pikir kita juga harus dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Berpikir positif kepada siapa? Pertama, berpikir positif kepada Allah. Setiap kejadian, peristiwa dan fenomena kehidupan ini pasti ada sebab musababnya. Tugas kita, hanya berpikir dan membaca. Ada apa dibalik semua itu? Lalu, kita mengambil pelajaran dari kejadian itu dan selanjutnya mengamalkan yang baiknya dalam perilaku keseharian.

Kedua, berpikir positif terhadap diri sendiri. Setiap manusia, dilahirkan sebagai pribadi yang unik. Karena bagaimanapun wajah dan sifat kita mirip dengan orang lain. Tapi, yang jelas ada saja perbedaan antara keduanya.

Sifat dan pribadi unik itu, harus kita jaga. Itu adalah potensi positif, modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita menuju ridho-Nya. Bagaimana orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri meremehkan dan tidak mengangkatnya.

Selain itu, kita juga harus yakin bahwa kita dilahirkan ke dunia ini sebagai sang juara, the best. Fakta membuktikan, dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Bapak kita, tetapi ternyata yang mampu menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi, hanya satu. Itulah kita, sang juara. Hal ini, kalau kita sadari akan menjadi sebuah motivasi luar biasa dalam menjalani hidup ini.

Ketiga, berpikir positif pada orang lain. Orang lain itu, manusia biasa sama dengan kita. Dia mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Yang tentu hati nuraninya tidak menghendakinya. Pandanglah, orang lain itu dari sisi positifnya saja dan menerima sisi negatifnya sebagai pelajaran bagi kita.

Belajarlah dari seekor burung Garuda. Ia mengajarkan anaknya untuk terbang dari tempat yang tinggi dan menjatuhkannya. Lalu jatuh, diangkat lagi dan seterusnya sampai ia bisa terbang sendiri. Hati Garuda juga bersih, tidak mendendam. Ia kalau waktunya bermain akar-cakaran. Tapi, kalau diluar itu ia akur, damai kembali.

Keempat, berpikir positif pada waktu. Setiap manusia diberi waktu yang sama, dimana pun dia berada. Sebanyak 24 jam sehari atau 86.400 detik sehari. Waktu itu, ingin kita apakan? Kita gunakan untuk tidur seharian, kerja keras, mengeluh, berdemontrasi, bergunjing, santai, menuntut ilmu, menolong orang lain, melamun, ibadah, dan lainnya. Waktu itu tidak akan protes.

Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggung jawabannya kelak, di hadapan Allah SWT. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan amal-amalan saleh dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Allah berfirman, yang artinya: “Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).

Untuk memaksimalkan sikap positif pada diri seseorang, lebih-lebih sebagai pembentuk pribadi yang pantang menyerah, tangguh, 'tahan banting', sabar dan istiqomah pada jalan-Nya. Tentu perlu dibagun pula dengan kebiasaan positif.

Semoga tulisan ini menjadi bahan penilaian terhadap diri kita sendiri, terutama kaitannya dengan keinginan pembentukan pribadi yang pantang menyerah. Dan kita berdoa, semoga Allah memberi kemampuan terhadap kita untuk membangun pribadi yang tangguh dan pantang menyerah sesuai tuntutan-Nya. Amin. Wallahu a'lam.

Sumber : http://www.motivasi-islami.com/artikel/membangun-pribadi-pantang-menyerah/

Rabu, 09 Desember 2009

Renungan Akhir Tahun...Menjelang 1 Muharram 1431 H

Sahabat…., tanpa terasa kita sudah hidup lagi di akhir tahun, apakah tahun depan kita masih diberi kesempatan untuk bernafas kembali menikmati indahnya segala ciptaan dan nikmatNYA ? ataukah tahun ini adalah akhir dari kehidupan kita ? detik demi detik terus berlalu meninggalkan kita tanpa kita dapat kembali lagi ke detik-detik waktu tersebut, apa yang telah dan akan kita persiapkan untuk menghadapai suatu hari yang tak ada lagi sandiwara?, adakah karya nyata yang akan menolong dan mengekalkan amal-amal kebaikan kita ?

Inilah kisah untuk bahan renungan kita di penghujung tahun ini

Awan sedikit mendung, ketika kaki kaki kecil Yani berlari-lari gembira
di atas jalanan menyeberangi kawasan lampu merah Karet.

Baju merahnya yg Kebesaran melambai Lambai di tiup angin. Tangan
kanannya memegang Es krim sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya
untuk dicicipi, sementara tangan kirinya mencengkram Ikatan sabuk
celana ayahnya.

Yani dan Ayahnya memasuki wilayah pemakaman umum Karet, berputar
sejenak ke kanan & kemudian duduk Di atas seonggok nisan "Hj Rajawali
binti Muhammad 19-10-1915:20- 01-1965"

"Nak, ini kubur nenekmu mari Kita berdo'a untuk nenekmu" Yani melihat
wajah ayahnya, lalu menirukan tangan ayahnya yg mengangkat ke atas dan
ikut memejamkan mata seperti ayahnya. Ia mendengarkan ayahnya berdo'a
untuk Neneknya...

"Ayah, nenek waktu meninggal umur 50 tahun ya Yah." Ayahnya mengangguk
sembari tersenyum, sembari memandang pusara Ibu-nya.

"Hmm, berarti nenek sudah meninggal 42 tahun ya Yah..." Kata Yani
berlagak sambil matanya menerawang dan jarinya berhitung. "Ya, nenekmu
sudah di dalam kubur 42 tahun ... "

Yani memutar kepalanya, memandang sekeliling, banyak kuburan di sana.
Di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut "Muhammad Zaini:
19-02-1882 : 30-01-1910"

"Hmm.. Kalau yang itu sudah meninggal 106 tahun yang lalu ya Yah",
jarinya menunjuk nisan disamping kubur neneknya. Sekali lagi ayahnya
mengangguk. Tangannya terangkat mengelus kepala anak satu-satunya.
"Memangnya kenapa ndhuk ?" kata sang ayah menatap teduh mata anaknya.
"Hmmm, ayah khan semalam bilang, bahwa kalau kita mati, lalu di kubur
dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa dineraka" kata Yani sambil
meminta persetujuan ayahnya. "Iya kan yah?"


Ayahnya tersenyum, "Lalu?"
"Iya .. Kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 42
tahun dong yah di kubur? Kalau nenek banyak pahalanya, berarti sudah
42 tahun nenek senang dikubur .... Ya nggak yah?" mata Yani berbinar
karena bisa menjelaskan kepada Ayahnya pendapatnya.

Ayahnya tersenyum, namun sekilas tampak keningnya berkerut, tampaknya
cemas . "Iya nak, kamu pintar," kata ayahnya pendek.

Pulang dari pemakaman, ayah Yani tampak gelisah Di atas sajadahnya,
memikirkan apa yang dikatakan anaknya... 42 tahun hingga sekarang...
kalau kiamat datang 100 tahun lagi...142 tahun disiksa .. atau bahagia
dikubur .... Lalu Ia menunduk ... Meneteskan air mata...

Kalau aku meninggal .. Lalu aku belum sempat bertaubat atas dosa-dosaku ...lalu kiamat masih 1000 tahun lagi berarti aku akan disiksa 1000 tahun?
Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'un .... Air matanya semakin banyak
menetes, sanggupkah aku selama itu disiksa? Iya kalau kiamat 1000 tahun
ke depan, kalau 2000 tahun lagi? Kalau 3000 tahun lagi? Selama itu aku
akan disiksa di kubur. Lalu setelah dikubur? Bukankah Akan lebih parah
lagi?
Tahankah? padahal melihat adegan preman dipukuli massa ditelevisi
kemarin aku sudah tak tahan?

Ya Allah.....betapa aku belum sanggup untuk Kau panggil karena beban dosa yang semakin hari semakin menggunung ( Ia semakin menunduk, tangannya terangkat, keatas bahunya
naik turun tak teratur....dadanya gemuruh, air matanya semakin membanjiri jenggotnya)

Allahumma as aluka husnul khootimah….( ya Allah aku mohon kebaikan di akhir hayatku ) berulang Kali di bacanya DOA itu hingga suaranya serak ... Dan ia berhenti sejenak ketika terdengar batuk Yani.

Dihampirinya Yani yang tertidur di atas dipan Bambu. Di betulkannya
selimutnya. Yani terus tertidur.... tanpa tahu, betapa sang Ayah
sangat berterima kasih padanya karena telah menyadarkannya arti sebuah
kehidupan... Dan apa yang akan datang di depannya...

"Yaa Allah, letakkanlah dunia ditanganku, jangan Kau letakkan dihatiku..."

Habis Sholat Isya , Gadis kecil itu mendatangi kepada ayahnya yang belum selesai sholat sunnah.Setelah mengucapkan salam, Sang ayah menatap anaknya.
" ada Apa Nak ? "
“Apakah kita bisa hidup tidak berdosa selama hidup kita?”.

Ayahnya memandang kepada yani kecil itu dan berkata,
“Tidak, nak. Manusia sering melakukan kekhilafan secara sadar maupun tidak. Itulah kenapa kita diperintahkan memohon ampun kepada Alloh setiap hari”.

Putri kecil ini kemudian memandang ayahnya dan berkata lagi,
“Apakah kita bisa hidup tanpa berdosa dalam setahun?”

Ayahnya kembali menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum kepada putrinya.

“Oh ayah, bagaimana kalau 1 bulan, apakah kita bisa hidup
tanpa melakukan kesalahan?”

Ayahnya tertawa, “Itu sangat sulit, nak”.

“OK ayah, ini yang terakhir kali, apakah kita bisa
hidup tidak berdosa dalam 1 jam saja?”.

Ayahnya berfikir sebentar.kemudian Ia mengangguk,
"Jika dia berusaha dan Alloh memberikan Hidayah. kemungkinan besar bisa".

Anak ini tersenyum lega.
"Jika demikian, aku akan berusaha hidup benar dari jam ke jam, ayah.
Lebih mudah menjalaninya, dan aku akan menjaganya
dari jam ke jam, sehingga aku dapat hidup dengan benar.... "

Sang Ayah berkaca-kaca menatap Putrinya:
" Apa yang kau katakan penuh dengan Hikmah, semoga Alloh selalu memberimu petunjuk.."

Suatu hari Rosulullah bertanya kepada seorang Sahabatnya :
"Bagaimana kondisimu hari ini, wahai Hudzaifah?" tanya Rosulullah.

Dengan percaya diri ia menjawab,"Alhamdulillah, ya Rosulullah, saat ini aku menjadi seorang mukmin yang kuat iman." Rosulullah bertanya kembali, "Hai Hudzaifah, sungguh segala sesuatu itu ada buktinya, maka apa bukti dari pernyataanmu itu?"

Jawab hudzaifah r.a. "Ya Rosulullah, tidak ada suatu pagi pun yang aku hidup padanya dan aku berharap untuk sampai pada sore hari, dan tiada sore pun yang aku hidup padanya dan aku berharap untuk sampai pagi hari, melainkan aku melihat dengan jelas didepan mataku syurga yang penduduknya bercanda ria menikmati keindahannya dan aku melihat neraka dengan penghuninya yang berteriak menjerit histeris merasakan dahsyatnya sikasa."

Rosulullah Saw mengatakan, " Arofta falzam, kamu sudah tahu maka komitmenlah dengan apa yang kamu tahu."

Sabtu, 05 Desember 2009

Marwah Daud Ibrahim, Ph.D; Karena Hidup Harus Dikelola dan Direncanakan


Marwah Daud dikenal sebagai perempuan yang cerdas dan sukses dalam setiap bidang yang digelutinya. Semua tak terlepas dari kebiasaannya merumuskan kehidupannya dalam formula yang jelas.

Bagi Marwah Daud Ibrahim, Ph.D, anggota DPR-RI serta sekretaris umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), cita-cita dan rencana tak cukup hanya berada pada skup diri dan keluarga saja. Pun tak cukup hanya untuk beberapa puluh tahun ke depan saja. Lebih dari itu cita-cita seseorang haruslah melintasi negara dengan manfaat yang usianya jauh lebih panjang daripada usia hidup seseorang di muka bumi. Tak heran kalau ia optimis dengan sasaran Nusantara Jaya 2045 yang tak hanya berjaya memimpin peradaban di Asia namun juga dunia. Tentunya dengan syarat, harus dilakukan bersama-sama dan dengan perencanaan yang matang.

Marwah mengakui cita-cita Nusantara Jaya 2045 adalah pemikiran yang bersifat evolutif. Dalam artian pencapaiannya bukan hanya tahunan namun lintas generasi. Anak cucu kitalah yang kelak akan merasakannya. Dan cita-cita itu bukannya tanpa dasar. “Saya melihat betapa potensialnya Indonesia. Sumber daya alamnya, sumber daya manusianya, sumber pendukungnya, luar biasa,” tutur perempuan yang menyelesaikan master dan doktor di bidang komunikasinya di Washington DC, Amerika Serikat itu. Dengan segala daya tadi sebetulnya Indonesia bisa berjaya. Sayangnya, menurut Marwah, di Indonesia banyak sekali paradoks. Masih ada orang kelaparan, masih banyak anak yang belum mendapatkan pendidikan yang layak, dan sebagainya.

Salah satu langkah nyata Marwah adalah dalam usaha pengembangan pedesaan, sebuah proyek percontohan yang bekerja sama dengan pemda lima kabupaten seluas 10.000 hektar di lokasi bekas perambahan hutan di kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Proyek yang diberi nama Bukit Sutra ini mempunyai produk unggulan sutra. Awalnya daerah itu sepi penduduk dan mereka hidup dalam keprihatinan. “Kita coba merancang kehidupan di sana dan kita bikin sekolah. Begitu ada sekolah, penduduk mulai berdatangan,” ceritanya. Kini di tempat yang baru tergarap 250 hektar itu sudah tersedia listrik, unit industri, serta sekolah dari TK-SMA serta pesantren. Rencananya program seperti itu akan dikembangkan pula di daerah lain.

“Tapi langkahnya harus serempak. Pemerintah, ormas, masyarakat, media, dan pengusaha harus terlibat. Kalau kita yakin, semua itu bisa,” ucap Marwah yang punya motto setiap detik adalah amanah dari Allah swt itu.

Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan

Bagi Marwah, kesuksesan bisa dicapai bila kita mampu mengelola hidup dan merencanakan masa depan seperti apa yang kita inginkan. Kesadaran ini didapatnya saat harus memulai program doktoral saat tengah hamil 7 bulan.

Ucapan sang ketua program doktoral bidang komunikasi di American University, Washington DC, telah memacunya untuk menjalankan pemetaan itu. Marwah adalah salah satu dari 13 orang yang diterima pada program ini di antara ratusan orang pelamar, maka kesempatan ini tak mungkin disia-siakannya walau tengah hamil. Melihat kondisi Marwah yang sedang hamil, sang profesor mengatakan, “Jika Anda tidak yakin untuk bisa menyelesaikan program, lebih baik dari sekarang Anda mengambil keputusan agar jatah dapat diberikan kepada orang lain.” Namun dengan yakin Marwah menyatakan bahwa ia insya Allah akan menjadi salah seorang yang tercepat lulus di angkatannya.

Selepas itu istri Ibrahim Taju ini merenung dan meninggalkan kampus dengan ketetapan tekad bahwa ia akan bisa selesai tepat waktu. Mulailah ia merencanakan langkah-langkah detail tentang apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan program doktornya, dari mencari bahan-bahan apa saja yang perlu dibaca, berapa mata kuliah yang harus diambil, kapan harus mulai menetapkan judul desertasi, dan sebagainya. Bertanya dan berdiskusi dengan para senior tak luput pula dilakukannya.

Dengan kelahiran buah hati, Marwah harus semakin ketat mengatur jadwal. Dari situlah ia mulai mengembangkan sistem Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan (MHMMD) dengan membuat peta hidup. Pada musim semi tahun 1985, selama berhari-hari ia menyusun peta hidupnya selama 5 tahun ke depan. Di dalam peta tersebut Marwah tak hanya menuliskan hal-hal yang terkait dengan studinya, namun juga seluruh rencana hidupnya dalam jangka waktu 5 tahun, termasuk jadwal puasa sunah, jadwal belanja, imunisasi anak, dan sebagainya. Peta hidup yang berbentuk kalender di atas kertas karton besar tersebut kemudian ia tempelkan di dinding untuk mengingatkannya setiap waktu. Hasilnya, pada tahun 1989 ia berhasil lulus nomor dua tercepat di angkatannya. “Tanpa peta, saya akan mudah menyerah dan mudah berubah-ubah,” tegasnya.

Kini kiat suksesnya itu ia bagikan kepada orang lain melalui pelatihan basic life skill MHMMD yang mengajak peserta merencanakan hidupnya, mulai dari harian sampai pada harapan hidup usia seseorang.

Badan di Desa, Pikiran Mendunia

Marwah lahir di Takalala, Soppeng, Sulawesi Selatan pada 8 November 1956, dari pasangan Muhammad Daud, seorang guru SD, dan Rahman Indang, seorang ibu rumah tangga. Pada umur beberapa minggu, ia beserta keluarga pindah ke Dusun Pacongkang, Desa Barang, kecamatan Liliriajaya, Soppeng mengikuti sang ayah yang mendapat tugas mengajar di sana.

Cara mendidik ayah dan ibunya yang berorientasi pada kemajuan anak-anaknya sangat mempengaruhi Marwah dan saudara-saudaranya untuk terus maju dan tak kenal kata menyerah. Sang ayah kerap mengajak anak kedua dari delapan bersaudara ini untuk merenung, melihat fenomena alam. Kisah-kisah tentang kejujuran, pembelaan pada kaum miskin pun selalu diceritakan sang ayah. Hal inilah yang membuat Marwah tumbuh menjadi pribadi yang selalu berpikir panjang dalam merencanakan hidupnya.

Semangat untuk menjadi seorang perempuan yang maju dan berdaya didapatnya juga dari sang ibu. Bagai mantra ajaib, sang Ibu selalu mengulang-ulang kalimat, ”Dulu saya ingin sekali sekolah, lalu bisa bekerja, tapi karena tamat SMP sudah dinikahkan jadi tidak bisa lanjut. Saya berdoa agar anak perempuan saya bisa sekolah tinggi dan bekerja baik sehingga bisa membantu banyak orang.” Terbukti, “mantra” itu betul-betul melecut Marwah untuk maju.

Sejak SD, Marwah sudah terbiasa melahap berbagai jenis buku dan mengenal berbagai tokoh dunia mulai dari tokoh nasional seperti Hatta dan Buya Hamka sampai tokoh dunia semisal Socrates, Montessori, dan Al Ghazali. Kesukaannya membaca tak lepas dari peran sang ayah yang memang menjadikan rumah mereka sebagai pusat kegiatan masyarakat termasuk tempat orang-orang bisa membaca koran. “Badan saya ada di desa yang bersinarkan lampu templok, tapi pikiran dan dan imajinasi saya keliling Indonesia dan mengintip dunia melalui lembaran buku dan peta dunia,” ujar Marwah.

Pada tahun 1970 Marwah harus berpisah dengan keluarga untuk melanjutkan ke SPGN Negeri di Watan Soppeng. Hal ini semakin memacunya untuk mandiri. Ketika keluarganya pindah ke Makasar, Marwah kemudian bergabung dan berhasil lulus dengan predikat siswa teladan meskipun ia belajar sambil mengikuti kursus menjahit dan mengetik.

Selepas SPG, keinginan Marwah untuk kuliah dan bisa melihat dunia tak terbendung. Meskipun bukan berasal dari keluarga berada, namun keinginannya untuk maju didukung penuh oleh keluarga besarnya yang kemudian urunan untuk biaya kuliah Marwah. Saat itu Marwah yakin bahwa ia hanya butuh biaya untuk masuk saja sedangkan biaya selanjutnya akan ia cari sendiri. Ia akhirnya bisa masuk ke jurusan Komunikasi di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makasar. Beruntung, di Unhas kala itu sedang digulirkan “Works study program” yang memungkinkan mahasiswa bekerja di lingkungan kampus. Marwah pun kemudian bekerja di koran kampus dan menjadi MC universitas sehingga bebas dari SPP.

Jadwal “Lengket”

Di tengah kesibukan yang mendera, Marwah punya cara jitu dan simpel untuk membangun kedekatan dengan anak-anaknya, Dian Furqani Ibrahim (24), Akmal Firdaus Ibrahim (20), dan Bardan Raiyhan Ibrahim (12). Sejak anak-anaknya kecil Marwah membiasakan untuk selalu memeluk anak-anaknya. Lengket, begitu istilah Marwah. “Kadang kita berpelukan sama-sama sampai nggak bisa bernafas,” katanya sambil tertawa. Bagi Marwah kedekatan semacam itu, meski kelihatan sederhana, amat penting untuk dibangun. “Mereka bisa dapat makan enak dari restoran, bahasa Inggris bisa kursus. Tapi yang memeluk, mencium, mengusap dahi tidak bisa digantikan oleh orang lain,” tegas Marwah yang bahkan memasukkan jadwal lengket itu ke dalam jadwal hariannya. “Kadang kalau sudah beberapa hari nggak lengket kangen juga,” imbuhnya.

Selain kasih sayang, Marwah juga menanamkan keyakinan diri pada anak-anaknya. “Keyakinan diri merupakan modal termahal yang bisa diberikan orangtua kepada anaknya dan guru kepada anak didiknya,” tuturnya. Ada peristiwa unik ketika Marwah ingin menanamkan rasa keyakinan diri pada Akmal, putra keduanya. Saat Akmal berusia lima tahun, Marwah membawanya berjalan-jalan di sekitar rumah mereka di daerah Bintaro. Mereka melewati sebuah lubang galian sedalam dua meter dengan lebar 4 meter. Marwah pun meminta Akmal menyeberangi lubang itu. Berkali-kali Marwah meminta, Akmal tetap menolak karena takut. Saat itu keyakinan Marwah adalah sekali sang anak bisa melewati rasa takutnya maka seumur hidup ia akan bisa melewati berbagai rintangan dan rasa takut. Maka dua jam selanjutnya pun dihabiskan Marwah untuk membujuk Akmal dengan cara menyanyikan kata-kata,” Akmal bisa, Akmal bisa.” Hingga akhirnya Akmal pun berani menyeberang.

Tak hanya itu, kebiasaan memetakan hidup pun sudah menular pada anak-anaknya. Dian, sang putri sulung misalnya, mengambil kuliah di fakultas kedokteran Unhas dan menikah saat kuliah. Kini ia sudah berhasil menjadi seorang dokter, menikah, dan memberi Marwah dan suami seorang cucu. “Dia bahkan meraihnya lebih cepat dari rencananya,” syukur Marwah.

Marwah, orang-orang terdekatnya dan banyak orang lainnya telah mengambil manfaat dari kebiasaan mengelola hidup dan merencanakan masa depan ini. Karenanya perempuan yang telah melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia ini – sebagaimana rencananya dulu – amat yakin bila masyarakat kita membiasakan diri melakukan perencanaan dan pengelolaan hidup ini masa depan yang lebih pasti dan lebih cerah bisa diraih. (sumber : http://www.ummi-online.com//index.php?option=com_content&task=view&id=446&Itemid=1)


Buku ini Genit :)

Hari Jum'at kemarin aq mengajar anak-anak kelas 3 SD, Senang kalo mengajar ank2 ini. Karena ada Haikal, sitampan yang comel coz dr awal belajar sampai akhir belajar adaa aja yg dia ceritakan, lalu ada Fadhil, sikalem yg skrg dah mulai ikut2an byk among krn dah klop sama haikal kali ya jd skrg dah mulai ikutan ramai, kemudian ada Alyssa, si pemalu yg suaranya sgt lembutt sekali, saking pemalunya setiap dia bertanya pasti maju kedepan dan membisikkan apa yg di tykan ketelingaq dan terakhir ada Indah, si chubby yg saat ini dah mulai doyan ngobrol sama alyssa, tp lumayan cukup pintar juga.

Seperti biasa ketika hendak mengajar, anak2 ini ramaai sekali, namanya juga baru kelas 3 SD. Hari itu kami belajar IPS, kebetulan tentang pemerintahan desa ataupun kelurahan. Pada saat menerangkan ttg KTP (Kartu Tanda Penduduk) kami semua tertawa. Ya ketika q terangkan ttg syarat pembuatannya yang ditujukan bagi warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun ataupun yang sudah pernah menikah... Nah ketika mengucapkan kata menikah spontan si kecil Haikal berseru sambil tertawa, "Ihhhh, buku ini genit sekali!!" spontan q bertanya,"Apanya yg genit, Haikal?", " Iya, buku ini genit, Ibu. Masa ada menikahnya. Menikah itu kan genit.". Spontan q tersenyum menanggapi celoteh anak ini, dan yang lainpun jadi ikut2an tertawa dan berseru, " Iyaa, buku ini genit ih" Hehehe....ada-ada aja ya celoteh anak-anak. Mereka mempunyai persepsi yg berbeda ttg suatu hal menurut pikiran mereka sendiri.

Memang ketika mengajar anak2 ini terkadang q jg kesulitan untuk menjelaskan ke mereka. Karena terkadang pertanyaan yg diajukan diluar perkiraan kita, spt hari itu mrk bertanya apa itu perwujudan, apa itu unsur, apa itu lembaga, bahkan suatu ketika q mendengar ada yg bertanya apa artinya adalah....weleh..weleh kalau dah denger pertanyaan mereka terkadang bingung juga menjelaskannya. Karena terkadang apa yg mereka tykan sy sendiri juga kesulitan dlm menjelelaskannya hehehe. Wah ternyata mentransfer ilmu kepada anak2 ternyata tidak mudah ya...banyak sekali pelajaran yg harus q pelajari :)

Jumat, 04 Desember 2009

Ayah… maaf boleh aku beli waktumu ?

Sahabat…., diantara tugas-tugas terberat yang kita rasakan sebagai Ayah dan Ibu adalah bekerjasama untuk mendidik Anak SECARA LANGSUNG agar anak-anak kita menjadi anak yang sholeh dan sholihah, menampilkan keteladanan yang baik selama bersama mereka, memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk mereka, menemani belajar dan bermain mereka , serta mengantar tidur mereka dengan cerita indah penuh hikmah. Inilah kisah untuk kita renungkan bersama bagi kita yang masih berprinsip ‘ waktu adalah uang ‘.

Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka diJakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron,putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama akan kedatangan ayahnya pulang kerja.

"Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?"

"Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja."

"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja.Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.

"Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong," katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok," perintah Rudi.

Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, "Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."

"Tapi, Ayah..."

Kesabaran Rudi habis. "Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok' kan bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih."

"Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama satu minggu ini."

"Iya,iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut.

"Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga.Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah," kata Imron polos.

Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat, air matanya mengalir deras, menyesali segala ketidakberdayaannya.

Sahabat - sahabat Yang disayang Allah, betapa setiap detik kasih sayang Allah telah kita rasakan, sesungguhnya adalah kita diperintah untuk membagi kasih sayang itu kepada orang-orang yang terdekat dengan kita, kepada orang-orang yang kehilangan kasih sayang dan kepada seluruh makhluq di muka Bumi ini, sebagai wujud manifetasi tugas kita sebagai Wakil Allah di muka Bumi.

Sahabat……, andai tugas yang membuat kita menjadi sering meninggalkan buah hati kita, maka jangan sampai lupa disetiap lelah dan dahaga kita terselip do’a untuk sang buah hati kita, terutama disetiap usai kita beribadah dalam bentuk apapun. wallahu'alam

Rabu, 02 Desember 2009

Psikologi Manusia

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang sbesar.
Al Ahzab :35

Semenjak allah `azza wa jalla menciptakan nabi adam as seorang diri kemudian diciptakannya Hawa sebagai pendamping untuk menghancurkan rasa kesepian nabi adam ketika berada di surga, yang diciptakan dari tulang rusuk beliau. Sehingga munculah hadist "perempuan itu diciptakan dari tulang rusuknya laki-laki".

Dari dulu sampai sekarang hanya ada dua kategori manusia yang memiliki jenis kelamnin laki-aki dan perempuan saja.

Secara struktur bilogis ikhwan dan akhwat amat sangat berbeda sehingga dalam pengklasifikasian peran, hak dan kewajiban antara ikhwan dan akhwat pun berbeda satu sama lain. namun perbedaan ini tidal lantas di artikan adanya diskriminasi satu sama lain. islam eist solung

Di dalam islam antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Islam menjelaskan secara gamblang dan akurat tentang peran kaum laki-laki dan perempuan dalam kehidupan ini, serta memberikan pedoman yang rinci tentang bagaimana seharusnya mereka berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam setiap aspek kehidupan. Penjelasan dan pembagian peran ini langsung berasal dari Allah Swt, Sang Pencipta manusia.

Interaksi yang dibangun antara ikhwan dan akhwat adalah interaksi yang dibolehkan secara syara', misal dalam konteks pendidikan, kesehatan dan muamalah. Interaksi inipun tidak lain adalah kerjasama demi terwujudnya sebuah peradaban agung yaitu peradaban islam.

Kadang, Seringkali ketika terjadi miss comunication di dua mahluk ini bukan karena "sering atau tidak seringnya" ketika berkomunikasi. Tetapi isi dari komunikasi yang terjalin, akan tetapi memang sangat tidak mudah ketika menjalin komunikasi anatara ikhwan dan akhwat sehingga komunikasi yang terjalin itu efekif kecuali belajar untuk memahami lawan jenis dengan berinteraksi, tapi dengan catatan seperlunya saja dan tetep kudu syar'i.

Oke, saya mencoba untuk sedikit meneliti permasalahan- permasalahan yang biasanya timbul ketika menjalin hubungan interpersonal ikhwan dan akhwat adalah karena " komunikasi" yang meliputi kontent, cara berkomunikasi, benturan sifat/karakter satu sama lain, beda prinsip dll. Komunikasi itu meliputi bahasa verbal maupun non verbal.

Nah sebelum ke arah "komunikasinya" saya akan bahas sedikit pandangan dari sisi psikologis ikhwan dan akwat. Karena, terkadang kenapa biasanya ada kesalahpahaman dan penyikapan yang salah di kedua belah pihak, bisa jadi satu sama lain belum mengetahui "seperti apa" keadaan, fakta, pengetahuan antara ikhwan dan akhwat (sifat/ karakter yang umum) tentu dalam konteks yang global.

Ikhwan – plEaSe hArgai guE!!-
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oeh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
An Nisa : 34

Dalam ayat ini Allaah `azza wa jalla memberikan sifat Qawamah (kepemimpinan) kepada ikhwan, dan qunut (ketaatan) kepada akhwat. Hal ini menunjukan bahwa fungsi ikhwan adalah memimpin dan kewajiban akhwat adalah taat (lihat Al qurthubi dalam al Jami' Liahkamil Qur'an 14/179)

Kenapa saya memberikan semacam clue "please hargai gue!!", tanpa bermaksud sotoy nii kepada para ikhwan ^^. Kalimat ini mungkin sering muncul di benak ikhwan baik dalam konteks dia sebagai anak, peran dia di lembaga dakwah, dunia pekerjaan dan sebagai suami. Kalimat ini sangat erat indikasinya tentang masalah "kepemimpinan" yang sedang ia pimpin. Setiap keputusan-keputusan yang di keluarkan baik konteksnya dia sebagai anak, suami dan anggota masyarakat ingin keputusannya itu "di hargai" bukan dalam konteks mengemis untuk dihargai.

Tapi memang secara tabiat ikhwan lebih senang dan sangat menghargai kepada siapapun ketika dia dihargai dalam hal apapun!! Makanya sangat mudah untuk membuat ayah saya senang dengan seketika ketika beliau sedang marah, hanya cukup dengan "menampakan wajah manis (alah..)" dan untuk menghargai beliau dengan apa yang sudah beliau berikan, cukup dengan tersenyum dan say "nuhun" walaupun belum sesuai harapan (nah, nanti di bahas pas bagian akhwat kenapa rata2 akhwat susah untuk menerima lebih tepatnya suka mengoreksi terlebih dahulu dengan sesuatu yang ada di hadapannya)

mungkin beda-beda setiap karakter kaum laki-laki tapi rata-rata sama. Sudah tabiat ikhwan ketika berkomunikasi tidak banyak bicara, tidak suka di dikte, tidak suka bicara panjang lebar, tidak suka dengan orang yang cerewet, susah untuk mengatakan "saya tidak tahu"(tergantung) , susah mengungkapkan sesuatu, keras kepala, egois yang tinggi, tidak suka digurui (kamu tuh kaya gini.. bla..bla..), tidak senang di koreksi secara membabi buta, pantang menyerah, berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang diinginkannya( tergantung) , tidak sabaran (tergantung) , tidak ingin diragukan kepercayaan yang diberikan kepada siapapun artinya tidak suka jika ada yang meragukan apa yang ia berikan,de el el.

Secara tabiat juga, ikhwan dalam bersikap lebih menggunakan perangkat akal/logika dibandingkan perasaan dan Mudah untuk melupakan sesuatu dan terkadang Sulit untuk memulai dari awal, jarang menangis/susah untuk menangis tapi sekali menangis justru menghawatirkan.

Akhwat –pLeAsE ngErtiiN gUe!!-
Saya berusaha untuk berpikir objektif sehingga melihat kedua belah pihak tidak bersikap "memihak dan membela (statusnya bukan lawer disinih)", tujuan tulisan ini pun hanya ingin memberikan gambaran tentang permasalahan yang biasanya muncul dalam hubungan interpersonal ikhwan-akhwat baik dalam konteks personal, lembaga dakwah, anggota masyarakat, dan sikap apa yang seharusnya di ambil! Tentu dalam konteks yang global dan bahasannya tetep syar'i.

"orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada istriku"
HR At Tirmidzi, Abu Dawud dan Ad Darimi

Ada beberapa hadist yang menceritakan tentang "bagaimana" seharusnya sikap ikhwan dalam bersikap dan menyikapi sikap akhwat. Kalau Hadist yang di atas lebih tepatnya sebagai "rambu" yang rasul saw berikan untuk kaum adam agar dalam bersikap kepada istrinya dengan penyikapan yang benar dan hati-hati.

Saya sering bertanya(bukan mempertanyakan! !) ke diri sendiri, kenapa aturan mulai dari al Qur'an dan hadist banyak sekali menceritakan tentang akhwat?? Ternyata, pas di telusuri wajar, sangat wajar luar biasa islam itu agama yang sangat memuliakan seorang wanita. Jangan kira bidadari itu hanya terdiri dari "bidadari langsung!" tapi dari kalangan wanita dunia yang beriman pun ada! (silahkan liat tafsir imam jalalain)

Oke, saya teringat sebuah hadist "jangan mencela (mencaci) nya, dan jangan mendiamkannya kecuali di rumah" (HR Abu Dawud dan Ahmad),

hadist ini memerintahkan kepada para suami untuk memperhatikan hak-hak istri agar para suami bersikap lemah lembut dan memperlakukan istri dengan makruf (menurut al munawi)

Hadist ini juga berlaku bagi ikhwan ke akhwat dalam konteks yang umum juga, karena secara tabi'i akhwat sangat senang mendengar sesuatu yang "indah" terutama perkataan makanya di haidst nabi jangan mencelanya artinya bersikap lembutlah kepada akhwat baik dengan perbuatan maupun dengan kata-kata! Karena jika tidak jangan aneh ketika melihat akhwat di caci satu kata maka ia akan membalas 1000 kata cacian terhadap orang yang mencacinya tadi! Di koreksi satu kata maka ia kan balik menkoreksi 1000 kata!! Mendengar kata-kata yang kasar itu lebih sakit dibanding dengan dikasari dengan sikap (tergantung) !! Mohon pahami ini udah tabiat (kecuali bagi yang bisa mengendalikan diri). Dan ketika akhwat mendengar sesuatu yang berupa, "pujian, do'a, kata-kata yang indah, syair kalimat-kalimat emosional" maka ia akan sangat senang dan akan bersikap menghargai siapapun yang bisa memahami dan mengerti keadaan dia. Makanya saya kasih clue, plEaSe ngErtiiN gUe!! Ini kalimat mengandung indikasi bagi akhwat ketika ada masalah dengan orang, pasti yang pertama timbul di benak kenapa ga bisa ngertiin gUe sii??..

Jangan mendiamkannya kecuali di rumah ini bermaksud akhwat sangat tidak suka tidak diacuhkan (diperhatikan, red) akhwat paling tidak suka tidak di acuhkan ketika dalam kehidupan luar rumah, entah itu organisasi, perkuliahan (statusnya ketika ngejar dosen untuk bimbingan, kasih tugas, minta perbaikan nilai dll), ini konteksnya global mau itu akhwat ke ikhwan atau kesesama akhwat.

Tapi tidak menutup kemungkinan juga karakter akhwat itu beda-beda tapi hampir rata-rata sama, ketika berkomunikasi lebih vokal, ahli bahasa verbal maupun non verbal, lebih emosional, mudah ekspresi, sulit melupakan tapi mudah melupakan, butuh pendengar, lebih menggunakan aspek perasann (wajar, terkait dengan fungsinya sebagai seorang ibu), kalau ikhwan pingin di hargai kalau akhwat lebih ingin di perhatikan dan di mengerti. Mudah bersabar, argumentatif, detail-isme, de el el.

Ikhwan – akhwat "antara langit dan bumi"
Jalaludin Rumi mengatakan ikhwan-akhwat bagaikan langit dan bumi, apa yang terlintas dalam benak anda?? pasti jauh sangat jauh berbeda(dengan berbagai macam perbedaannya) , kalau saya memandang bukan fakta perbedaannya yang menyebabkan menjadi berpikir "jauh", saya tidak memandang dari sisi perbedaan karena memang tanpa kita pandangpun memang berbeda dan memang sudah takdir untuk berbeda.

But, U ever thingking?? Langit ketika hujan dan airnya jatuh ke bumi sehingga bumi tadi bisa menghasilkan tanaman-tanaman. Bumi bisa menghasilkan sesuatu karena ada air yang jatuh dari langit. Memang sudah aturannya seperti itu.

Begitu juga ikhwan-akhwat, kekurangan ikhwan itu di tutupi oleh kelebihan yang akhwat miliki begitu juga sebaliknya. Saling melengkapi.

Benak kusut
Permasalahan yang sering kali muncul antara ikhwan-akhwat dalam hubungan interpersonal baik statusnya sebagai sesama anggota dakwah, anak kuiahan, dunia pekerjaan, sebagai salah satu anggota keluarga dan anggota masyarakat. Biasanya yang sering terjadi pasti karena, miss komunikasi, jarang komunikasi (rapat kaga jalan) sehingga terjadi lose kontrol sehingga menyebabkan komunikasi satu arah, adanya pembelaan dan klarifikasi, komunikasi kek perang ofensiv dan defensiv, ini dalam konteks ikhwan-akhwat yang ada dalam sebuah lembaga dakwah (saya ambil kehidupan yang global). Intinya mah komunikasi!! Corak komunikasi yang dibangun, isi atau kontent komunikasi yang dijalin!!

Saya ambil contoh, ada seorang akhwat secara karakter dia sangat serius dalam bersikap terutama masalah hubungan ke arah yang serius, tiba-tiba ada ikhwan yang siap untuk mengkhitbahnya, nah tanpa di sadari ikhwan tadi mengungkapkan "kalimat" yang begitu meninggikan dari keadaan akhwat tadi lewat kata-kata seperti, "ukhti saya siap menikahi ukhti dan saya harap ukhti menerima pinagangan saya dan saya akan menbahagiakan ukhti".

Hhmm, apa yang ada di pikiran kalian?? Keknya si ikhwan tadi di terima karena secara psikologis akhwat itu lebih senang dipuji dan mendengarkan kata-kata yang indah.

Sayang sekali, akhwat tadi menolaknya. Saya ga akan bahas kenapa-napanya, tapi intinya adalah corak komunikasi yang dibangun dan kondisi psikologi komunikan. Memang secara psikolgis akhwat senang mendengar kata-kata indah, tapi itu lantas tidak menjadi jaminan ia akan bersikap atau merespon baik dari yang kita kira.

Corak komunikasi yang kalau saya menilai bisa diandasi oleh beberapa hal, yang pertama sebagai ekspektasi dari gharizah bisa nau' contohnya kek di atas tadi, bisa juga baqa' mungkin seperti kalimat, "ukhti bisa kita ketemu berdua untuk membicarakan khitbahan saya (baqa' yang dilandasi hawa nafsu sehingga kurang berpikir jernih dan menghalalkan segala cara agar tujuan tercapai), yang terakhir dari gharizah tadayyun seperti "maukah ukhti menjadi bidadari dunia yang kelak akan melahirkan mujahid/ah generasi pejuang islam, bersama-sama menguatkan keimanan, membangun keluarga yang ideologis?? (alah..)

Heuheu.. saya suka ketawa sendiri kalau nulis kek ginih, btw bukan ini yang ingin saya tunjukan!!

Kembali ke corak komunikasi, yang kalau saya menilai contoh-contoh kek diatas lebih kepada corak komunikasi yang dibangun atas landasan gharizah. Bukan corak komunikasi yang dilandasi atas pemahaman yang diharapkan bisa membangun pemikiran bersama sehingga yang perlu diperhatikan adalah metode dan data penelaahannya walaupun ini menyangkut urusan hati. Sehingga akan ada penyikapan yang benar.

Corak/landasan komunikasi yang dilandasi dari akal/pemahaman yang tujuannya diharapkan akan membangun pemikiran bersama itu lebih abadi dibandingkan corak komunikasi yang dilandasi atas gharizah.karena gharizah akan berubah-ubah tergantung rangsangannya. Tapi memang, ketika kita berinteraksi itu sebagai pemenuhan atas naluri tapi yang saya maksud itu adalah "kecenderungannya" , perangkat mana yang akan ia pakai, perasaan/emosnya kahi?? Atau akalnya??

Manusia itu terdiri dari akal dan emosi bukan dipisahkan akan tetapi kedua perangkat itu memang ada di dalam manusia itu sendiri. diharapkan ketika bersikap atau membuat keputusan pemahaman/akallah disini cenderung untuk didahulukan dibandingkan perasaan atau emosi.

Benak lurus –memasangkan langit dan bumi-
Oke, seperti apakah misal seseorang yang lebih mengedepankan akal/pemahaman yang diharapkan akan membangun pemikiran bersama dengan memperhatikan metode penelaahannya, sehingga muncul sikap yang benar!! Termasuk urusan hati (alah lagi)

Jangan aneh ketika melihat ikhwan yang secara perangai kasar, keras kepala, dingin, dan bukan sifatnya ketika ia harus bersikap lembut pada seorang akhwat (bisa ibunya atau juga istrinya, adik perempuannya) berarti dia telah mengamalkan hadist nabi saw di atas sebagaimana Umar bin Khatab r.a. bersikap lemah lembut kepada istrinya, mendengarkan setiap keluhan istrinya (cerewet, red), sikap Umar ketika turun ayat An Nisaa :3 yang membatasi jumlah akhwat untuk dipoligami maka Umar menceraikan istri-istrinya yang cantik kecuali istri yang secara fisik biasa saja tapi apa perkataan Umar, "saya khawatir kecantikan istri2 saya bisa melalaikan iabadah saya terhadap Allaah `azza wa jalla dan saya lebih senang memilih istri yang cerewet agar mengingatkan saya untuk beribadah terus".. itulah Umar yang memiliki perangai yang kasar dan keras kepala lagi dingin akan tetapi dapat bersikap lemah lembut terhadap istrinya.

Dan jangan aneh pula ketika ada seorang akhwat yang lebih memilih untuk bersikap sabar dan mengerti terhadap sikap dari ikhwan (bisa ayahnya, kakak, suaminya, teman lembaga dakwah) ketika ikhwan tadi belum bisa bersikap lemah lembut, masih bersikap kasar dan dingin. Akhwat tadi tidak menuntut untuk sikap yang seharusnya tapi lebih memilih untuk mengerti dan bersabar, menunggu hingga suatu saat nanti pasti ia bisa mengamalkan hadist Nabi Saw di samping ia senantiasa mengingatkan, Berarti akhwat tadi seperti laksana Ummu sulaim r.a. sahabiyah yang masuk islam awal ketika ummu di persunting oleh abu Talhah r.a.yang ia masih dalam keadaan kafir akan tetapi ummu sama sekali tidak menolaknya (pastinya secara perasaan, setiap akhwat menginginkan suami yang unggul terutama dari segi keimanan agar dapat membingbingnya) . Ummu hanya mengatakan tanpa perkataan yang mendikte dan menuntut, "aku mau menjadi pendampingmu jika kau masuk islam , dan aku rela islam sebagai maharku" ummu seketika menjadi jalan "cahaya" keislaman Abu Talhah r.a. yang kelak Abu menjadi salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga(semoga allaah memberikan rahmat kepada para sahabat Nabi)

terpikirkankah oleh kita seorang Abu mantan orang kafir yang memerangi Nabi dulunya bisa menjadi salah satu sahabat yang dijamin masuk surga?? luar biasa peran Ummu…

Sahabat-sahabat semua, dalam teori yang saya curahkan dalam tulisan ini, bisa saja salah!(karena setiap orang punya teori dan punya sisi psiko masing2 sehingga memunculkan pandangan yang berbeda-beda, yang salah adalah jika pandangan itu berdasarkan asumsi/prasangkaan belaka)

hanya saja, saya memandang antara laki-laki dan wanita memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak sama. Sehingga dari setiap kekurangan dapat kita terima dengan lapang dada dan ikhlas sebagaimana kita bisa dengan mudahnya menerima kelebihan orang lain.

Dua manusia ini tidak akan pernah cocok dan sama selamanya sampai mati!! Karena memang di takdirkan untuk tidak bisa sama dan mustahil untuk dipaksakan bisa sama karena kedua-duanya adalah berbeda!! Tidak ada istilah cocok atau tidak cocok antara ikhwan dan akhwat yang ada adalah "bagaimana" bisa mencocokakan diri!! Tapi ini juga mustahil berarti kita menjadi orang lain bukan diri sendiri, kita mengerjar sesuatu demi kepuasan hawa nafsu..

Contoh kecil adalah orang tua, jujur saja, saya dalam keluarga terdapat banyak sekali karakter dan sifat yang sama sekali berbeda, kesukaan, kesenangan yang sama sekali berbeda.

Orang tua saya tahu dan mengerti akan perbedaan ini, tapi perbedaan ini tidak lantas mencari tahu apa parameter persamaan(saya cenderung menilai ini lebih menggunakan perangkat perasaan)!! Sehingga perbedaan itu akan harmonis, bukan itu!! Sungguh bukan itu!! Kalau seandainya semua orang tua berpikir seperti itu pasti akan ada pemutusan hubungan antara orangtua dan anak, ada "sesuatu" yang melebihi hanya sekedar membuat "parameter" karena jika manusia yang menentukan parameter ini pastinya akan berubah-ubah! !

So apakah itu??
"Sikap tulus" yang lahir dari keimanan kepada sang Al Khaliq itulah yang melahirkan sikap saling mengerti dan memahami keadaan lawan kita.. yah, sikap tulus yang akan melahirkan sikap yang tidak banyak menuntut, sikap menerima apa adanya dalam artian hargai dia sebagai manusia yang layak dihargai walaupun ketika ia berbuat salah disamping telah menasehati, dan sikap saling memahami.

sikap tulus dapat juga diartian lahir dari cara berpikir untuk dapat "menerima", menerima tidaklah berarti menyetujui semua perilaku orang lain atau rela menanggung akibat dari perilaku oarng lain. menerima tidak berarti menilai pribadi orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita senangi, betapapun jeleknya perilaku menurut persepsi kita. jika tidak ada sikap ini maka yang ada adalah mengkritik (secara psikologis akhwat sangat kental dengan sikap ini, tapi sikap menkritik ini bukan lahir dari sikap untuk meremdahkan, sama sekali tidak!! tapi lebih ke arah sikap tegas melindungi diri dari sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum syara'), dan mengecam buta.

Sikap tulus yang lahir dari pikiran jernih. Ini yang saya maksud membangun pemikiran bersama sehingga objektif. Sehingga komunikasi yang dijalin akan sehat dan efektif. Karena corak atau isi komunikasi yang dibangun berdasarkan kecenderungan ia menggunakan perangkat akal bukan emosi atau perasaan. Sehingga lagi, akan muncul sikap "saling" saling mengerti, memahami, menasehati, mengingatkan dll. Jika terjadi perselisihan di kembalikan lagi kepada landasan yang menjadi corak komunikasi yang tujuannya membangun pemikiran bersama dan kembalikan setiap perselisihan itu adalah hukum syara' sebagai "source of solution"!!
(sumber :seismic_yuni@yahoo.com)