Sabtu, 20 Desember 2014

Mengapa Tidak Semua Pernikahan Itu Indah dan Bahagia?

Semoga kisah ini bisa dijadikan bahan renungan dan muhasabah ya..:-)

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya beliau begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah sensitif, maka pagi hari hanya bisa makan bubur. Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.

Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikit pun. Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.

Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayah, ibu bukan pasangan yang baik. Beberapa kali ayah mengatakan rasa kesepian dan kekecewaannya akan sikap Ibu padanya selama pernikahannya itu pada saya.

Sementara Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam pelajaran. Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adalah seroang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia adalah pahlawan, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibuku, ayah juga bukan seorang pasangan yang baik, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut kamar atau ruangan di rumah kami.

Ayah menyatakannya perasaannya dalam pernikahan dengan kata-kata, sedang ibu dengan tindakan (seperti menangis). Semakin dewasa, saya melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam pernikahan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan sesungguhnya mereka layak mendapatkan sebuah kebahagiaan dalam pernikahannya.

Saya sering bertanya dalam hati, mengapa dua orang yang sama-sama sangat baik ini bisa tidak bahagia dalam pernikahannya? Ayah sangat bertanggungjawab, Ibu juga adalah sosok yang baik dan penyayang.

Hingga tibalah saat saya pun memasuki usia pernikahan. Dan tanpa disadari saya pun menemukan jawaban itu dengan sendirinya. Karena saya juga mengalami apa yang ayah dan Ibu rasakah dalam pernikahan saya dengan suami. Di masa awal pernikahan, saya juga sama seperti ibu, melakukan kewajiban saya seperti menyikat panci hingga mengkilap, membersihkan lantai, memasak makanan enak serta sungguh-sungguh berusaha memelihara keindahan dalam rumah serapih-rapihnya dan semua tugas sebagai Ibu rumah tangga saya lakukan dengan sangat sempurna.

Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan mencoba memasak dengan variasi menu lainnya.

Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik! Dengan mimik tidak senang saya berkata : "Apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?" Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, karena dalam pernikahan ayah dan ibu, kerap kali perkataan itu terlontar pada ayah dari mulut ibu.

Ternyata saat itu saya sedang mempertunjukkan kembali gambaran pernikahan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka. Tiba-tiba muncul kesadaran dalam diri saya. Apa sebetulnya yang kamu inginkan ?

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suami, dan teringat akan ayah saya; Ia selalu tidak mendapatkan apa yang dia inginkan pada pasangannya selama pernikahannya. Ibu lebih banyak menyikat panci daripada menemani ayah bercengkrama atau mengobrol berdua saja. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan pernikahan. Ibu saya memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga dengan sesempurna mungkin.

Dan saya, tanpa disadari juga menggunakan cara yang sama seperti ibu. Rumah tangga saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita bahwa ada dua orang yang baik namun tidak mendapatkan sebuah pernikahan yang membahagiakan kedua pihak.

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu. Lalu saya bertanya pada suami: "Apa yang kau butuhkan suamiku?"

"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku, " ujar suamiku. Saya jawab : "Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakaianmu dan semua hal seharusnya saya lakukan sebagai istrimu". Suamiku menjawab : "Semua itu tidaklah penting sayangku, yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku." Saya terkejut dengan jawabannya, merasa sia-sia dengan semua yang saya lakukan selama ini namun ternyata tidak membuat kami berdua bahagia.

Sejak itu, saya membuat sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja buku. Begitu juga dengan suamiku, dia juga membuat sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki. Saya juga menuruti apa kata suami yaitu tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya. Saya cukup mendengarkan saja dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan saat suami menyetir mobil. Biarkan saja, kecuali suami meminta pertimbangan dari saya.

Saya sadar sekarang bahwa kegagalan pernikahan kedua orang tua saya yang tidak bahagia adalah karena mereka berdua bersikeras menggunakan sudut pandangnya sendiri dalam mencintai pasangannya. Mereka tak pernah bertanya apa yang membuat pasanganya itu bahagia. Karena bahgia itu bukan hanya dari materi saja. Tapi perhatian tulus dan saling menyatakan cinta di setiap kesempatan yang ada. Serta rasa cemburu yang selalu ada, karena cemburu membuat kita lebih hidup, membuat kita merasa dicintai, membuat kita merasa dihargai serta dimiliki.
__________________________________________________________________
Sumber : Kisah Insipirasi yang saya edit sebagian besar dari naskah aslinya di kumpulan kisah inspirasi (tidak ada nama authornya).

Note :
Seringkali setelah melewati lebih dari sepuluh tahun pernikahan, rasa cinta dan cemburu semakin pudar...berganti dengan rutinitas yang seolah-olah biasa. Apalagi umur semakin senja... buat sebagian orang cemburu bukanlah bumbu pernikahan. Tapi buat saya cemburu adalah bagian dari sebuah cinta.... Saat cemburu datang, maka kita bisa merasakan bahwa kita masih dicintai atau tidak saat suami atau istri mengatakan : I LOVE U mah.... I LOVE U PAH....

Jadi...cobalah tinggalkan rutinitas di rumah saat suami ada di dekat anda... temani dan layani dia sebaik mungkin..karena jika tidak...perempuan lain di sekitarnya sudah banyak yang siap melayaninya dengan sukarela.Semoga bermanfat dari grup tetangga

* copas
Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas commentnya