Sabtu, 29 Oktober 2011

U Change Dear .....

Hmmm.....beberapa pekan lalu, tepatnya 2 pekan yg lalu diawal bln ini. saya dapat masukan dari salah seorang teman dekat saya sebut saja namanya sya. Yupz dia mengatakan u change dear..sempet kaget waktu dpt masukan tersebut, walaupun selama ini kami hanya berinteraksi via dunia maya. Namun ngga nyangka aja beliau bisa menerka seperti itu. Walaupun ku sempet menanyakan balik, darimana dia tahu kalau ada sesuatu yg berubah didiri saya. Dan beliau menjawab dari statement yg q utarakan waktu kita chat. Walaupun tanpa bermaksud untuk menyinggung perasaan saya, beliau berusaha meralatnya mungkin pada saat dia berinteraksi dg saya, pada saat itu perasaan saya sdg tidak enak alias sensitif :d


Wow what a surprise for me?? she can do that.
Walaupun jujur ngga kupungkiri juga bahwa apa yg dia utarakan ada benarnya juga. Tapi saya senang bahkan terharu ternyata masih ada yg perhatian. Apa yg dia utarakan membuat saya berintropeksi diri. bahkan bersyukur, masih ada saudara yg mengingatkan saya bahkan semakin saya merasa betapa kasih sayang Allah terhadap saya sangat besar.

Dan waktu kemarin, kita chat kembali...ada satu hal yg buat saya senang. Finally dia bilang, kalau yg saat ini baru mba ika yg dia kenal xixixi....lucu juga, tapi biar bagaimanapun makasih ya sya atas masukannya. Semoga berkah dan kasih sayang Allah senantiasa tercurah untukmu, sya yg shalihah...Ma Kasih untuk semuanya

Rabu, 12 Oktober 2011

Cara Islam Adalah Cara Alami Dalam Mendidik Buah Hati

Oleh bidadari_Azzam

Segala puji bagi Allah ta’ala yang senantiasa melimpahkan penjagaan terbaik-Nya kepada kita, membimbing kita dalam menunaikan amanah-amanah sepanjang waktu, selalu mencurahkan kasih sayang setiap detik nan terlewati.
Buah hati yang merupakan permata dunia selalu dirindukan oleh semua orang tua di dunia. Bahkan di Eropa tatkala para wanitanya mengalami ketakutan melahirkan atau tidak ingin hamil serta melahirkan, tetaplah mereka merindukan buah hati, lantas jalan ‘pintas’ diambil, yaitu mengadopsi, yang mana anak yang diadopsi benar-benar secara sah (di mata hukum negeri tersebut) merupakan anak ‘hak milik’ keluarga yang mengadopsinya, tak boleh diganggu gugat oleh orang tua kandung si anak sampai kapan pun. Meskipun di mata Allah SWT, hal itu tidak sah, yah karena sifat ‘mau enaknya doang’ adalah sifat kebanyakan manusia, maka budaya adopsi masih terus terjadi.
Padahal anak-anak yang ‘merasa dimiliki’ tersebut, biasanya diletakkan di tempat penitipan bayi jika kedua orang tua bekerja. Sedari kanak-kanak, diarahkan untuk memiliki beragam atraksi dan ragam keahlian yang gunanya untuk ‘membanggakan orang tua’.
Dalam momen “Friday Nasiha”, brother Abdul Wahid Hamid mengingatkan kaum ibu sholihat agar tidak terwarnai budaya ‘trend-trend-an’ ketika mendidik anak. Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam telah menjadi teladan sepanjang zaman, termasuk cara bersikap yang dicontohkan beliau dalam mendidik anak-anak. Cara islam merupakan cara alami, dan tetap yang terbaik.
Dalam tarbiyyah anak-anak, “Duhai ibu dan bapak, kita harus ingat bahwa anak-anak sering belajar dari contoh. Perilaku yang tepat dan contoh dari orang tua sangat penting dalam membesarkan anak-anak”. Orang tua yang mengharapkan anak-anak mereka untuk berdisiplin dan bekerja keras, yang harus terlebih dahulu disiplin & bekerja keras adalah sang orang tua. Orang tua yang mengharapkan anak-anak mereka untuk jujur, maka kita sebagai orang tua berupaya menerapkan kejujuran diri dan memperhatikan pengaruh pertemanan yang terbiasa jujur.
Dulu saya pernah mencetuskan omongan, “Saya ingin anakku ini cerdas dan nantinya khatam al-qur’an…” Lantas adik juniorku masa kuliah pun mengingatkan, “Naaah, Ummi… Kalau mau anaknya khatam qur’an, ayah ibunya juga khatam qur’an duluan donk…hehehehe”, Subhanalloh, benar juga, alangkah egoisnya diri ini kalau mau ‘nitipin anak’ ke pesantren demi khatam qur’an, tapi ayah ibunya masih punya hafalan qur’an yang itu-itu saja. Astaghfirulloh…
Juga perlu diingat bahwa pengobatan yang diberikan kepada anak-anak di tahun-tahun awal kehidupan mereka dapat memiliki efek luas pada keadaan mental dan emosional di kemudian hari.
Tradisi suntikan meningkatkan daya tahan tubuh tidak dicontohkan oleh nabi kita, beliau rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam melakukan cara alami dengan tahnik kurma, orang tua pun selanjutnya menjadi ‘tim solid’ ketika masa awal kehidupan anak untuk ‘lulus ASI’, tak mudah menata hari dengan beragam amanah lainnya, hingga sistem pencernaan ananda menjadi lebih kuat dan stabil. Namun pasti kebahagiaan mengaliri jiwa, menjadi orang tua yang dapat mendekap anak-anak dalam keseharian, memetik senyum kala lelah menerpa.
Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam pernah berwasiat agar etika orang tua teladan yang perlu diperhatikan adalah “jadilah dermawan, baik dan mulia di mata anak-anak, serta berprilaku yang indah”, sebab kebiasaan baik tersebut pasti dicontoh sang anak.
Berbahagialah menjadi orang tua, dan bahagiakan anak-anak. Mereka ceria dan bahagia, kemudian tumbuh kembang mereka dihiasi dengan suka cita, tentu hal ini lebih baik dibandingkan dengan pukulan dan terror ketakutan semisal hukuman fisik yang berlebihan.
Seorang Ibu di negeri tetangga pernah menampar anaknya di depan guru sekolah, Ibu itu mencak-mencak, ‘menghakimi kebodohan’ sang anak karena memperoleh nilai merah di raport akademisnya. Kata-katanya kotor, emosi tak terkontrol.
Sungguh sedih melihat si anak menangis, padahal selain mempermalukan sang anak, si Ibu tak menyadari, “Kemanakah engkau saat waktu belajar bagi sang anak, pernahkah engkau mendampinginya mengerjakan Pe-Er dan tugas sekolah lainnya, Bunda?” Ibu tersebut berpikir bahwa dia sudah ‘membayar guru, les yang bermacam-macam, dll’ untuk pendidikan anak, maka dia maunya “hasil raport tidak merah”, dan hasil raport itulah yang akan membuatnya bangga pada si anak.
Padahal ‘raport akhirat nanti’ jauh lebih penting. Kita harus jujur mengucapkan kata maaf jika pernah berbuat salah pada ananda, sebagaimana kita menginginkan sikap benar dan jujur menghiasi hidup mereka. Kita tunjukkan prilaku lemah lembut, sopan, saling tolong antar sesama dan pengembangan sikap kebiasaan tersebut pada anak-anak merupakan prestasi besar nan amat mahal.
Kebersihan dan rapi pun telah diajarkan dalam tata cara mendirikan sholat bagi kita, anak-anak yang khidmat shalatnya ternyata bisa berpengaruh dalam khidmat memperhatikan pelajaran dalam kelasnya. Subhanalloh, kaum non-muslim pun di Krakow ini ‘punya tradisi’ berdo’a terlebih dahulu sebelum tahun pelajaran sekolah dimulai, juga sebelum pelajaran harian dimulai, (mereka menyadari bahwa khidmatnya berdo’a akan tetap terbawa fokus perhatian terhadap pelajaran di kelas) dan selalu sulungku tidak mengikuti kelas berdo’a tersebut, Alhamdulillah ia telah memahami ‘perbedaan dirinya’ sebagai satu-satunya muslim di sekolah.
Dan ternyata sulungku itu sering sholat di ruang bermain sekolah, dan beberapa teman bertanya tentang ‘aktivitas apakah’ yang barusan dilakukannya, koq seperti berolah raga (sampai ada teman yang mengikuti gerakan sholat di belakangnya), ia jelaskan berdasarkan pengetahuannya sendiri bahwa ‘ini sholat, karena aku muslim’. Yah, kita do’akan saja semoga anak-anak tersebut memperoleh cahaya Islam suatu hari nanti, aamiin.
Anak-anak muslim mengembangkan adab dan etika islam dengan meniru orang tua dan gurunya: kapan dan bagaimana untuk saling menyapa, mendengarkan ragam suara alam, observasi, membaca, menuliskan isi hati, membersihkan diri usai urusan toilet, kapan saatnya diam dan memperhatikan lawan berbicara, serta kapan saatnya bersemangat bermain, dll, sadar atau tidak, melihat tindak tanduk anak-anak sering kita cetuskan melalui kalimat, “ih, mirip ayahnya…” atau “nah, kalau lagi begitu, mirip ibunya…” Tak masalah ‘seperti ayah atau ibu’, yang bermasalah adalah jika Ayah atau Ibu berprilaku tidak ‘seperti’ yang dicontohkan dalam Al-Qur’an.
Disarankan bahwa anak-anak akan diajarkan sedari usia dini untuk membaca Al Qur'an, malu-lah kita jika sebagai orang tua malah tak bisa membaca Al-Qur’an. Pada usia dini, mereka memiliki kapasitas untuk menghafal dan secara umum banyak anak dan pemuda menghafal seluruh bagian atau sebagian besar dari Qur’an, kemudian makin hari meningkatkan pemahaman akan makna-maknanya.
Sejak usia tujuh tahun, beliau Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam merekomendasikan bahwa anak-anak harus membiasakan melakukan shalat dan pada usia sepuluh mereka harus diwajibkan untuk melakukannya secara teratur. Sepenuh-penuhnya jadwal meningkatkan keterampilan duniawi, anak harus paham bahwa sholat merupakan tiang agama, pelaksanaannya harus di awal waktu.
Anak-anak yang kreatif, inovatif dan percaya diri adalah anak-anak yang melihat kepercayaan diri yang tinggi dari orang tua mereka. Lagi-lagi, kita ngomong sampai berbusa pun, belum tentu tausiyah kita dicerna sang anak. Mereka ‘langsung mencerna’ sikap, akhlaq keseharian kita. Dan suatu hari nanti mereka mengerti bahwa anak-anak dan orang tua adalah sama-sama belajar.
Di tengah hiruk pikuknya ragam metode pendidikan anak, tarbiyyah yang tepat adalah bahwa anak-anak harus selalu mencintai Islam, cinta kepada Allah ta’ala dan Nabi-Nya (sallallahu ‘alayhi wasallam) dan bahwa mereka dapat mengembangkan rasa bangga menjadi Muslim dan kemauan untuk berjuang, sebab hidup merupakan jalan perjuangan.
Kita sebagai orang tua memiliki banyak khilaf dan sangat lemah, maka kita ajak mereka kepada ajaran rambu-rambu-Nya nan sempurna. Mereka kelak menyadari bahwa hidup dengan nilai-nilai islam adalah kebutuhan, dan kita harap ‘tak ada kebutuhan lain’ yang menjadi pelepas dahaga mereka, selain kebutuhan pada bimbingan Allah ta’ala, itu kebutuhan alami seluruh manusia. Wallahu’alam bisshowab.
(bidadari_Azzam, @ Krakow, malam 11 okt’2011) Penulis adalah koordinator muslimah-Islamic Centre Krakow, Poland
sumber :  http://www.eramuslim.com/oase-iman/bidadari-azzam-cara-islam-adalah-cara-alami-dalam-mendidik-buah-hati.htm

Senin, 10 Oktober 2011

Agar Anak Tak Menyukai Televisi

Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School

Sudah terlalu bosan kita mendengar keluhan banyak orangtua tentang tayangan-tayangan televisi. Sudah terlalu sering pula kritik terhadap tayangan televisi dilontarkan. Entah berapa kajian dan penelitian yang kerap mengangkat dampak negatif televisi terhadap perilaku anak. Kita menyadari tidak semua acara televisi tidak bermanfaat, tapi jika kita jujur pada diri sendiri dari apa yang kita lihat, kita perhatikan dan kita renungi dari televisi, maka anda akan mendapat kesimpulan: televisi ada manfaatnya, tapi dampak ketidakmanfaatannya jauh lebih banyak dan dahsyat dari manfaatnya.

Jadi, rasanya tak ada lagi alasan untuk tidak mengendalikan anak dari televisi. Bagaimana caranya? Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, meniadakan sama sekali televisi di rumahnya. Kedua, menyediakan televisi dengan teknik PENGENDALIAN.

Mana yang tepat? Bagi saya dua alternatif ini adalah pilihan yang lebih baik, setidaknya dibandingkan dengan membiarkan anak sebebas-bebasnya anak nonton televisi tanpa batas. Karena bagaimana tanpa pembatasan televisi berpotensi menjadi 'musuh' yang tak terlihat yang diundang tak secara sengaja oleh orangtua, merusak anak-anaknya. Tak berlebihan jika ada yang mengatakan upaya orangtua sedari kecil membina anaknya dengan agama, ngaji di TPA hingga memilih sekolah terbaik untuk anak bisa 'berantakan' gara-gara televisi.

Memang ada yang tak setuju jika tiada sama sekali televisi di rumah menyebabkan anak-anak dapat 'menjelajah' rumah tetangga. Tapi alasan ini sebenarnya menjadi alasan yang tak perlu dikhawatirkan sebab sebenarnya sebetah-betahnya anak main nonton televisi di rumah tetangga dapat dipastikan ia tidak dapat betah berjam-jam dan berlama-lama di rumah orang lain dibandingkan di rumah sendiri.

Meniadakan sama sekali televisi di jaman memang seperti sebuah keanehan ketika kita hidup di tengah hutan 'modernisasi'. Tapi sebenarnya ini dapat difahami jika konteks keluarga, ayah, ibu dan seluruh anak dipersiapkan dan dikondisikan dan mengkondisikan diri. Megganti jam televisi di rumah dengan kegiatan-kegiatan bersama orangtua-anak dapat menjadi alternatif pengganti yang mengasyikkan.

Tak sedikit di keluarga-keluarga yang memiliki 'anggota keluarga' yang tak pernah dilahirkan bernama televisi, kebersamaan antaranggota keluarga terutama antar orangtua-anak menjadi semakin berkurang. Orangtua-anak mungkin nonton bareng berdekatan setiap hari, tapi pada dasarnya mereka tidak hadir secara jiwa bersama-sama. Mereka terkonsentrasi untuk menyelami isi televisi dan tidak menyelami perasaan-perasaan anggota keluarga sendiri.

Alasan ketinggalan informasi juga dapat dinafikan dalam keluarga-keluarga yang sudah dipersiapkan dengan ketiadaan televisi ini. Bagi mereka, membaca koran setiap hari pun tidak akan pernah habis. Ribuan bahkan jutaan informasi bisa hadir setiap hari, tapi tak semua informasi selalu berguna untuk dikonsumsi. Saya lihat jika untuk sekadar kebutuhan informasi, setidak-tidaknya TVRI dan Metro TV menghadirkan acara-acara yang sangat aman untuk keluarga. Tapi pertanyaannya, yakinkah kita betah berlama-lama di dengan televisi itu berjam-jam dan tak tergoda untuk memindahkannya pada chanel lain?

Bagaimana mendapat hiburan untuk anak jika tidak ada televisi di rumah? Seorang ayah berkata bahwa bercanda dan bermain dengan seorang anak saat di rumah adalah hiburan yang tak pernah membosankan dan menguntungkan semua pihak: anak dan orangtua sendiri. Anak terstimulasi dan orangtua pun mendapat senyuman dan ketawa sana-sini. Refreshing bukan? Subhanallah, saya tersentuh dengan ikhtiar ini.

Sementara, yang lain kemudian menghadirkan sarana hiburan digital lainnya bernama vcd player atau komputer khusus anak di rumah. Ini juga upaya yang patut diapresiasi. Meski sama-sama produk elektronik dan seperti tidak ada bedanya, sebenarnya keduanya jauh berbeda dari segi pengendalian. Semua orangtua dapat mengontrol isi komputer/VCD Player tapi hampir semua orangtua pada saat yang bersamaan tidak dapat mengontrol isi televisi. Bahkan, pada acara untuk anak sekalipun yang judulnya kadang-kadang diselipkan kata 'pendidikan' iklannya justru jauh dari kesan mendidik anak-anak itu sendiri.

Sekali lagi, meniadakan televisi dapat menjadi alternatif lebih baik daripada membebaskan anak-anak sebebas-bebasnya tanpa batasan nonton televisi. Program meniadakan televisi di rumah ini akan berlangsung efektif jika orangtua dapat 'proaktif' mengelola kegiatan-kegiatan alternatif di rumah dan mempersiapkan mental jauh hari seluruh anggota keluarga di rumah.

Jika Anda menganggap meniadakan televisi sebagai hal yang mustahil alias uthopia, meski saya tidak menganggapnya demikian, maka alternatif lain selain meniadakan televisi adalah menghadirkan televisi dengan PENGENDALIAN. Metode pengendalian dapat ditempuh dengan beberapa tahapan dan upaya. Insya Allah jika upaya ini dilakukan dengan penuh kesungguhan dan konsistensi insya Allah anak-anak Anda bisa tak menyukai televisi dan bukan hanya sekadar dipaksa jauh dari televisi.

Pertama, BUAT ANAK SUKA MEMBACA. Ada banyak bukti anak yang suka membaca ternyata tidak menyukai televisi. Jika pun ada yang suka membaca dan suka nonton televisi, sebenarnya jika diamati lebih mendalam, kesukaan membacanya sekadar kesukaan insidental yang tak begitu mengakar. Anak-anak yang hanya membaca buku sepekan sekali jelas tidaklah dapat disebut anak yang suka membaca karena ketika seorang anak suka membaca maka sungguh anak ini akan 'tak betah' jika ia 3 hari saja tidak membaca buku.

Membuat anak suka membaca insya Allah pekerjaan tak terlalu sulit. Tak perlu kursus dan tak perlu jadi orangtua hebat untuk membuat anak suka membaca. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan, kemauan untuk menyediakan waktu 15 menit sebelum tidur dari 24 jam hidup kita untuk anak. Lakukan 15 menit ritual sebelum tidur yang berharga, untuk menginstallkan program-program positif ke dalam otak anak. Bacakan buku ini sejak ia bayi, buku dengan gambar penuh warna yang akan merangsang jutaan sel syarafnya bekerja. Sebelum tidurnya, setidaknya ketiga anak saya, saat mulai usia 1,5 tahun mereka sudah membawa buku ke kasurnya sebelum tidur untuk dibacakan cerita. "Bah... citaaaaa. Abah... cita ni.....".

Kedua, buatlah JAM BOLEH NONTON TELEVISI. Ingat, jangan pernah membaliknya dengan strategi JAM TAK BOLEH NONTON TELEVISI. Sebagian orangtua terjebak karena ingin membatasi anak dengan televisi caranya adalah membuat jam tak boleh nonton televisi, biasanya antara maghrib dan isya.Jika seperti ini caranya maka anak kita akan beranggapan hanya maghrib sampai isya yang tak boleh nonton televisi maka yang lainnya bebas nonton televisi.

Madonna yang 'seksi' itu ternyata juga membatasi anaknya dari televisi. Apatah lagi seharusnya sebagian kita yang 'mengerti' dan mengagungkan budi pekerti. Mengapa Madonna yang selebriti dunia saja membatasi anaknya dari televisi? Tiada lain dan tiada bukan pasti alasannya karena kesadaran akan dampak negatif yang dahsyat dari televisi.

Berapa lama waktu JAM BOLEH nonton televisi? Terserah Anda, bergantung kajian dan kesepakatan Anda dengan anak. Anak juga dapat mengajukan 'proposal' pada orangtua disertai dengan argumen-argumennya. 'Proposal' yang berisi jam berapa saja ia ingin nonton dan apakah tayangannya aman untuk mereka?

Jika Anda menanyakannya pada saya, saya akan menjawabnya maksimal 2 jam. Maksimal loh ya, bukan minimal. Syukur-syukur bisa 1 jam. Dengan 2 jam setidak-tidaknya anak dapat menonton 2 jenis tayangan televisi yang mereka sukai. Boleh berturut-turut, misalnya 2 jam di sore setelah pulang bermain dari pulang sekolah atau terputus 1 jam setelah pulang lelah bersekolah dan 1 jam di sore hari. Anda dapat memutuskan terputus sejam 2x atau 2 jam sekaligus setelah Anda yakin betul dengan tayangan-tayangan televisi di jam-jam yang ia pilih. Tapi sejujurnya, saya merekomendasikan Anda: JANGAN PERNAH DURASI MENONTON TV ANAK anda melebihi DURASI Anda BERSAMA Anak. Bersama anak loh ya, bukan hanya sekadar di dekat anak.

Jika anak menawar, merajuk, merengek dan menangis saat televisi harus dimatikan karena sudah 2 jam, maka ISTIQOMAHLAH. Pegang teguhlah. Jangan pernah tergoda dengan godaan tangisan anak sehingga anda melanggar aturan anda sendiri. Ini bisa berbahaya, anak akhirnya dapat menganggap orangtuanya hanya bicara pepesan kosong dan tidak dipercaya. Membuat aturan tapi buktinya bisa diruntuhkan.

Ketiga, SIMPAN TELEVISI DI TEMPAT YANG TAK NYAMAN. Bagaimana tak betah berlama-lama di depan televisi jika televisinya saja sudah mahal. Suaranya menggelegar pula. Tempat duduknya? Wahh sofa empuk modern minimalis yang nyaman di mata. Lengkap dengan sajian snack pula!

Coba kita balik dengan alternatif-alternatif ini: simpan televisi di komputer dengan memakai tv tuner atau simpan televisi di bawah tangga atau simpan di dekat kompor atau simpan di dekat meja yang sempit. Ihhh seperti bercanda. Tapi ini dijamin tokcer! Insya Allah anak Anda takkan betah berlama-lama.


Keempat, BANTU ANAK MEMBUAT KEGIATAN MANDIRI SAAT ANDA TENGAH SIBUK. Sebagian orangtua mengalami kesulitan saat menjalani kesibukan di rumah dengan urusan rumah tangga dan sekaligus ngurus anak. Akhirnya, televisi lagi-lagi menjadi jalan untuk mengalihkan perhatian anak agar tidak menganggu kegiatan orangtua dengan urusan lainnya (masak, nyuci, beres-beres) di rumah. Daripada anak rewel dan menganggu ya simpan di depan tv lagi akhirnya.

Untuk sebagian besar anak, bahkan orang dewasa sekalipun, tidak melakukan kegiatan sama sekali dan hanya menunggu orangtuanya, tentu saja adalah hal yang membosankan. Maka kerewelan menjadi hal yang tak terhindarkan. Bagi anak-anak di atas usia 7 tahun, mereka dapat saja secara mandiri mencari kegiatannya sendiri, tapi sebagian agak kesulitan untuk anak-anak di bawah 7 tahun. Karena itu membantu anak untuk membuat kegiatan mandiri menjadi salah satu solusi.

Insya Allah orangtua dapat membantu menciptakan 1001 jenis kegiatan mandiri untuk anak selain menyimpan anak di depan televisi. Saya hanya meyebutkan beberapa diantaranya dan saya yakin Anda dapat menemukan ribuan lainnya: 1. Mewarnai mainan anak 2. Menggambar/membuat tato di kaki... 3. Menggunting daun 4. Menempel-nempel 5. Main beras/pasir 6. Menyusun bangunan dari buku2/casing cd/kaset 7.menggulung2 kertas 8.Same Action (program aksi mirip: ibu memasak beneran, anak masak mainan, ibu nyuci piring benaran, anak nyuci piring mainan). 9. Menyimpan 20 barang tersembunyi dan anak mencarinya, jika ketemu ibu kasih hadiah special 10.water game (pake mangkok, sendok, sedotan) dan buaaaaaaaaaanyaaaaaaak deh lainnya!

Kelima, SEDIAKAN WAKTU BERSAMA ANAK. Ketika bersama anak, maka anda tidak hanya berada di dekat anak. Tak sedikit orangtua merasa 'aman' karena telah menyediakan waktu di dekat anak dengan menjadi ibu rumah tangga misalnya. Maaf, jangan salah kaprah saya selalu mengatakan kepada ribuan orangtua yang mengikuti program saya: jangan bangga dulu Anda memilih jadi ibu rumah tangga seolah menyediakan waktu 24 jam tapi tidak satu jam pun ternyata bersama anak.

Bersama anak itu artinya anda tidak bertiga dengan koran, tidak berempat dengan televisi, tidak berlima dengan masakan dan tidak bertujuh dengan cucian. Saat bersama anak, Anda benar-benar hadir bersama anak, bicara dengan anak dan bukan sekadar bicara pada anak. Kadang menjadi 'peserta', kadang menjadi 'panitia' dari acara yang Anda selenggarakan bersama anak di rumah. Kadang tertawa bersama, sesekali boleh menangis mengenang cerita.

Karena hanya di dekat anak, lebih banyak orangtua yang sering BICARA KEPADA ANAK daripada BICARA DENGAN ANAK dan sebagian orangtua akhirnya ketika megasuh anak mengalami kelelahan mental yang luar biasa: CAPEK DEH..... karena itu tak sedikit ibu rumah tangga yang seperti terlihat kelelahan dan stress jadi ibu rumah tangga. Bukankah anak itu anugerah? Bukankah Anda yang memilih berinteraksi lebih sering dengan sumber anugerah maka anda seharusnya salah satu orang yang paling bahagia?

Menjadi orangtua terbaik bukan berarti kita harus menyediakan waktu 24 jam hidup kita hanya untuk urusan anak. Insya Allah anak-anak kita pun ketika mereka semakin tumbuh menjadi remaja, menjadi dewasa dan seterusnya tak butuh waktu kita selama-lamanya. Mereka pun butuh waktu dengan teman-temannya, seperti kita juga berhak melakukan kegiatan-kegiatan sendiri tanpa anak. Anda hanya diminta menyediakan waktu bersama anak. Jika Anda menyediakannya, maka sungguh saat anak mendekati, orangtua akan merasakan kesejukan, ketenangan, keriangan di lubuk hatinya dan anak benar-benar menjadi cahaya mata (qurrotu'aini) dan bukan penganggu orangtua.

Bagi saya, satu jam sehari bagi para ayah dan ibu yang bekerja atau 2-4 jam sehari bagi yang ibu bekerja sudah cukup. Inilah yang hilang dari sebagian anak jaman kita hari ini. Tak sedikit anak menjadi 'yatim piatu' di saat orangtuanya sebenarnya masih lengkap. Mereka bertemu setiap hari dengan orangtua, tapi sebagian hanya bertemu 'say hallo' semata. Sebagaian orangtua bertemu dengan anak-anaknya bahkan bersama di depan televisi. Sebagian mereka menangis. Ya, menagis, tetapi bukan menangis karena menyelami isi hati anak-anaknya sendiri, tapi menangis karena isi acara televisi. (*)

Orangtua atau Bos dirumah?

Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)
www.auladi.org

Ayah Bunda, dalam diri anak-anak Anda bisa jadi ada darah Anda. Hanya saja, tidak semua orangtua jadi orangtua sebenarnya untuk anak-anaknya, tapi hanya menjadi Bos Anak, yakni menjadi Bos di Rumah untuk anak-anaknya.


Bos Anak, membuat takut dalam diri anak-anaknya
Orangtua membangun kepercayaan anak-anak nya

Bos Anak sering mengatakan “Pokoknya Mama Papa Tidak Mau....”
Orangtua sering mengatakan “Mama Papa Sangat Senang Jika Kamu....”

Bos Anak sangat tahu bagaimana mengatur anak
Orangtua sangat tahu bagaimana membina anak

Bos Anak selalu mengendalikan anak
Orangtua membantu anak mengendalikan dirinya sendiri

Bos Anak berfokus pada keburukan anak
Orangtua berfokus pada kebaikan anak

Bos Anak bicara pada saat anak berantem
Orangtua bicara pada saat anak rukun

Bos Anak menguasai anak
Orangtua bekerjasama dengan anak

Bos Anak menyelesaikan hampir semua masalah anak
Orangtua melatih anak menyelesaikan masalahnya sendiri

Bos Anak sangat lihai menyalahkan saat anak bermasalah, mundur ke belakang
Orangtua rendah hati menemukan solusi bersama saat anak bermasalah, maju ke depan

Bos Anak mengatakan “lain kali jangan kayak gitu!” saat anak minta maaf
Orangtua mengatakan “Subhanallah, alhamdulillah, anak Mama Papa berlapang dada meminta maaf”

Bos Anak itu otoriter pada anak
Orangtua itu otoritatif pada anak

Bos Anak nonton tv pada saat anak belajar
Orangtua mematikan tv pada saat anak belajar

Bos Anak selalu menanyakan ‘bagaimana pelajaran kamu hari ini? Bagaimana nilaimu?’
Orangtua menanyakan ‘apa yang membuatmu tertawa hari ini di sekolah nak?

Bos anak menceramahi anak ‘mama papa bilang apa, kamu sih banyak main, nilaimu jadi jelek begini, prestasimu turun!’
Orangtua bicara dengan anak ‘mama papa yakin kamu kecewa dan sedih dengan nilai belajarmu. Adakah yang bisa mama papa bantu agar nilaimu jadi lebih baik?’

Bos anak mengusir anak saat pulang kerja ‘sana jangan dekat-dekat, kamu tau mama papa kan cape!’
Orangtua merengkuh anak saat pulang kerja ‘sini anak-anakku. Siapa dulu yang mau bercerita?’



(Silahkan disebarkan, di-share kembali, di-copy dengan selalu menyebutkan penulis dan sumbernya)

Bagaimana Agar Anak Nyaman Curhat Pada Orangtua?

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School /Master Trainer Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)
www.auladi.org
Email: inspirasipspa@yahoo.com
Curhat, sarana yang sederhana, ternyata dapat membuat anak-anak kita bisa memiliki daya tahan mental lebih baik terhadap lingkungan (negatif). Setidaknya itu yang dipublikasikan riset dari John Hopkins University: remaja-remaja yang memiliki kesempatan berbicara pada orangtua ternyata memiliki daya tahan mental lebih baik terhadap pengaruh lingkungan.
Tanyakanlah pada mereka yang tak pernah curhat pada orangtua, apakah mereka merasa 'dekat' dengan orangtuanya? Bagi sebagian kita juga, coba-coba ingat-ingat masa remaja Anda. Bagi sebagain kita yang curhat pada orangtua, bukankah ada perasaan tenang dan nyaman bukan? Sebaliknya bagi kita yang tak pernah curhat, bukankah sungguh tak enak memiliki orangtua tapi tak nyaman bicara pada orangtua?
Lalu, bagaimana agar anak nyaman curhat pada kita, orangtuanya?
Pertama, orangtua harus memahami tipe apakah anaknya ini: periang atau pemalu? Pendekatan pada setiap anak dapat berbeda untuk membuat anak curhat. Anak-anak yang periang mungkin mudah untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Bahkan, sebagian anak ini, jika bicara hampir tanpa titik, berantai seperti kereta api. Agar anak curhat, orangtua tinggal membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka dari cerita-cerita yang mungkin akan meluncur dari mulut anak-anaknya.
Tetapi bagi sebagian anak lain seperti anak pemalu, maka ia cenderung diam dan pasif. Ini terjadi karena ia cenderung menjadi ‘pengamat’ dari pada pembicara. Apalagi, anaknya cenderung hati-hati. Tapi, percayalah, berbicaralah adalah kebutuhan bagi semua orang, termasuk bagi anak-anak yang pendiam sekalipun. Hanya saja memang orangtua harus pandai memancing-mancing anak agar mau ‘bicara’.
Caranya, Anda lontarkan satu ‘kejadian’ yang mungkin menarik bagi anak untuk memancing perhatiannya. Saya sebut kejadian ini sebagai “even catching“. “Tadi Mama ketemu teman sebangku KK di sekolah, namanya siapa? Neni ya?” “Apa yang KK sukai dari Neni?” “Kenapa sih Adik suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia?” “Kak, apa yang membuat tadi kakak tertawa di sekolah, bagi dong sama Bunda.... “
Kedua, jika Anda menemukan anak murung atau seperti terlihat sedih karena ada masalah dan belum mau bercerita, tidak apa, jangan pernah dipaksa bicara. Semakin dipaksa semakin ‘otak reptil’ bekerja dan ia semakin menutup mulutnya. Anda cukup bicara “Mama senang jika Kakak mau bercerita.... Klo kakak mau bercerita mama siap mendengarkan”
Ketiga, jika Anda menemukan masalah anak atau anak telah bercerita tentang masalahnya dan ada ‘kontribusi’ akibat dari kelalaian anak itu sendiri, jangan pernah terburu-buru untuk mencoba menceramahi atau menggelontorkan nasihat-nasihat kepadanya. Biarkan ia bebas untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Berikan pengertian Anda bahwa Anda mengerti perasaan mereka dan bahwa mungkin Anda pun faham betapa kecewanya jika berbuat lalai. Bahwa kita sungguh-sungguh mendengarkan perasaannya. Orang menyebutnya ini sebagai mendengar aktif.
Keempat, berikan kepercayaan kepadanya untuk bersama-sama mencari solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Tentu saja, orangtua boleh membantu, tetapi sebaik-baiknya masalah yang dihadapi anak, anak sendiri yang menemukan solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Orangtua sebaiknya berperan sebagai ‘fasilitator’. “Mama tau kamu sedih dengan nilai raportmu, kira-kira apa yang bisa kamu lakukan agar nilai kamu tambah baik?” “Ada tidak yang bisa mama Bantu dari ini?” Dengan ini, anak-anak dilatih untuk menjadi ‘problem solver’ minimum untuk dirinya sendiri atau setidaknya jika kita pun menawarkan bantuan, ia sendiri yang memutuskan di bagian manakah orangtuanya dapat membantu dirinya.
Kelima, kendalikan anak dari televisi. Menonton televisi yang berlebihan dapat membuat anak menjadi pasif. Kita tahu, saat anak nonton televisi ia lebih banyak diam dibandingkan dengan bergerak. Padahal saat bergerak, gerakan bagi anak-anak itu menstimulasi otaknya, kecerdasannya. Dengan anak pasif, ia hanya menerima, tidak aktif merespon. Otaknya jadi tak terlatih untuk berpikir dan dapat membuat mereka semakin sulit untuk mengeluarkan pikiran dan perasaannya. Satu jam sehari nonton televisi cukuplah sekadar untuk memuaskan anak-anak kita. Setidaknya itu yang dilakukan Madonna, artis Hollywood yang terkenal itu. Masak orangtua shalih kalah sama Madonna?
Keenam, berlatihlah. Orantua shalih, seharusnya semakin dewasa anak kita semakin sedikit kita bicara dan kita berikan anak-anak kita justru yang banyak bicara. Memang jika sebagian Anda “hobby” bicara terasa sulit. Tapi insya Allah dengan latihan menahan diri untuk tidak buru-buru mengungkapkan bahwa gagasan kita lebih baik dari pada anak-anak kita, kita akan semakin terlatih membuat anak kita bicara.
Ketujuh, Anda boleh mengungkapkan gagasan, pikiran dan perasaan Anda pada anak setelah anak bicara banyak. Saya terlalu sering bilang pada banyak orangtua pakailah rumus “undang anak bicara, baru kita bicara”. Tapi saat Anda bicara, please... jangan pernah membandingkan anak kita dengan siapapun agar anak berbuat baik. Terima ia apa adanya, fokus saja pada solusinya.
Kedelapan, gunakan waktu-waktu santai anak. Memilih waktu santai lebih efektif karena anak-anak dalam keadaan rileks pikirannya. Ia lebih nyaman untuk bicara dan bahkan mungkin bisa lebih nyaman untuk menerima pesan-pesan yang disampaikan orangtua.
Kesembilan, anti jaim alias jangan pernah jaga image di depan anak. Maksudnya pakailah bahasa tubuh dan ekspresi Anda saat Anda senyum, tertawa, sedih. Sertakan gerakan mata, ekspresi wajah, gerik-gerik tubuh Anda. Tetapi tak usah berlebihan dan hati-hati saat Anda merasa khawatir. Anda harus pandai mengendalikan diri Anda sendiri. Jangan sampai saat anak gadis Anda bicara “Ma aku gemetaran tanganku tadi di sekolah di pegang sama Cecep..”. Jangan sampai Anda justru yang gemetara dan berkeringat dingin di depan anak. Apalagi sampai pingsan di depan anak. Sungguh tak lucu bukan?
Jangan pernah dianggap bahwa kesembilan hal ini ribet. Curhat adalah hal yang sangat sederhana dan tidak memerlukan keterampilan seperti Anda bicara. Yang dibutuhkan dari Anda adalah mau tidak Anda menahan diri untuk tidak buru-buru menyalahkan, untuk tidak buru-buru melontarkan perasaan dan pikiran Anda. Ingat, membuat anak curhat adalah membuat mereka mengeluarkan pikiran dan perasaan mereka, bukan mengeluarkan perasaan dan pikiran Anda. Ingat, Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut, makannya, sebenarnya mendengar curhat anak seharusnya lebih mudah daripada bicara pada anak. *

Senin, 03 Oktober 2011

Kiat Pendidikan Islami Sejak Dini pada Anak

Anak adalah amanah yang diberikan Allah Swt pada para orang tua. Karenanya, orang tua berkewajiban mengasuh, mendidik, melindungi dan menjaga amanah Allah itu agar menjadi generasi muslim yang bukan hanya sukses di dunia, tapi juga di akhirat kelak.
Dalam keseharian, para ibulah yang memegang peranan penting dalam pengasuhan dan pendidikan putra-putrinya. Pernahkah para ibu merenungkan sejauh mana peranan yang mereka mainkan akan berpengaruh dalam perjalanan hidup si anak? Kita semua tahu bahwa semua perbuatan manusia selama di dunia dicatat dalam sebuah buku yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Begitu pula anak-anak kita kelak, dan isi catatan buku mereka selama di dunia sangat tergantung dengan bagaimana cara kita mendidik mereka, apakah kita menerapkan pola pengasuhan dan pendidikan yang cukup Islami.
Sebagai contoh, apakah anak-anak kita sekarang sudah memahami tentang hubungannya dengan Sang Pencipta? Nasehat apa yang akan kita berikan pada anak-anak ketika kita menjelang ajal, sehingga ketika kita dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt tentang anak-anak kita, kita mampu menjawab, "Ya Allah, aku membesarkan anak-anakku dengan ihsan (sempurna) semampu yang saya bisa, agar taat dan tunduk pada ajaran-Mu."
Di tengah perkembangan zaman seperti sekarang ini. Tugas mendidik, menjaga dan melindungi anak dari pengaruh buruk arus globalisasi dan modernisasi, bukan perkara yang ringan. Bekal pendidikan dari sekolah berkualitas, menanamkan rasa tanggung jawab dan disiplin serta moral tidak cukup, jika tidak diimbangi dengan bekal pendidikan agama yang baik.
Bekal pendidikan rohani yang harus para ibu tanamkan sejak dini adalah membangun keyakinan yang kuat dalam hati mereka tentang ke-esa-an Allah Swt, mengajarkan rasa cinta yang besar pada Nabi Muhammad Saw dan mengajarkan mereka nilai-nilai serta ketrampilan yang akan bermanfaat bagi kehidupan mereka saat dewasa nanti.
Sejak dini, tanamkan pada diri anak-anak tentang konsep Tiada tuhan Selain Allah. Allah tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Selalu mengingatkan pada anak-anak bahwa Allah Mahatahu apa yang ada di bumi dan di langit, agar anak-anak selalu menjaga ucapan dan tindakannya. Beritahukan pada anak-anak, apa sesungguhnya tujuan hidup ini dan arahkan mereka agar tetap fokus dan memiliki visi yang jelas tentang konsep hidup.
Itulah tantangan bagi para ibu untuk menghasilkan generas-generasi muslim yang hebat dan bermanfaat bagi umat. Generasi yang tidak hanya cerdas intelektual tapi juga cerdas dari sisi sosial, emosi dan spiritual. Tentu saja untuk melakukan itu semua, para ibu harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mendidik dan berinteraksi dengan anak-anak. Tips-tips berikut bisa menjadi acuan bagi para ibu dalam menerapkan pola asuh dan pendidikan bagi anak-anak di rumah, agar menjadi generasi yang Islami:
1. Setiap anak itu unik
Kita harus memahami bahwa setiap anak terlahir unik. Pahami bahwa setiap anak lahir sebagai individu yang mewirisi kualitas kepribadian yang berada di luar kendali orang tua. Itulah sebabnya, orang tua harus mampu mengidentifikasi karakteristik yang unik dan perilaku anak-anak kita, tanpa harus mencetak dan mendorong anak-anak ke arah yang orang tua sukai. Jika kita memahami hal ini, kita akan memberikan pengasuhan, bimbingan dan dukungan yang anak-anak butuhkan untuk melengkapi potensi yang telah Allah berikan pada mereka.
2. Membangun dan menanamkan tentang kasih sayang Allah Swt pada anak-anak
Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (Surat At-Tahrim;6). Tanamkan pada anak-anak bahwa tentang kecintaan dan keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi adalah atas kehendak Allah. Ajarkan mereka selalu mengucapkan "La illaha illah Allah; jika anak meminta sesuatu, katakan pada mereka untuk berdoa, meminta pada Allah karena Allah yang memiliki segala sesuatu. Ajarkan kecintaan pada Allah saat santai dan berbincang-bincang dengan anak, agar mereka mudah memahami mengapa manusia beribadah, harus taat dan melaksanakan ajaran-Nya.
3. Salat
Rasulullah Saw berkata, "Ajarilah anak-anakmu salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan ketika mereka berusia sepuluh tahun, hukumlah jika mereka melalaikan salat.". Orang tua harus membiasakan mengajak anak salat tepat waktu. Jadikah salat berjamaah sebagai kebiasaan dalam keluarga, bahkan jika anak masih di bawah umur, tak ada salahnya selalu mengajak mereka salat. Jika kewajiban salat sudah melekat kuat dalam diri anak, maka anak-anak akan terlatih untuk salat dengan khusyuk.
4. Kegiatan Sosial
Ajaklah anak-anak sesering mungkin untuk melakukan aktivitas sosial, berjalan-jalan ke taman, berkunjung ke kebun binatang atau museum, belajar berenang, bertaman, mengamati matahari tenggelam, dan kegiatan lainnya. Sebisa mungkin, jauhkan anak dari kebiasaan nonton tv dan isi waktu luang mereka dengan aktivitas fisik, misalnya melakukan olahraga yang mereka sukai.
5. Berkumpul dengan Keluarga
Biasakan berkumpul dengan seluruh keluarga, mendiskusikan berbagai isu yang merangsang semua anggota keluarga mengemukakan pendapatnya. Kebiasaan ini melatih rasa percaya diri anak dan kemampuannya bicara di muka umum dan akan mengakrabkan sesama anggota keluarga. Kebiasaan berkumpul ini juga bisa dilakukan dengan cara memainkan permainan yang melibatkan seluruh anggota keluarga atau memanfaatkan waktu makan, dengan membiasakan makan bersama.
6. Membangun kesadaran pada anak-anak akan pentingnya kebersihan dan menjaga lingkungan hidup
Kesadaran ini harus dimulai dari rumah sendiri, dengan melibatkan anak-anak dalam urusan pekerjaan rumah. Mintalah anak memilih pekerjaan rumah apa yang bisa ia lakukan, apakah menyapu, mengepel, mencuci piring, untuk membantu meringankan tugas ibu di rumah.
7 Komunikasi
Komunikasi adalah ketrampilan yang paling penting yang akan dipelajari anak-anak. Bicaralah pada anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Rasulullah Saw mencontohkan, saat bicara dengan anak-anak menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas sehingga anak-anak mau mendengarkan dan bisa memahami apa yang disampaikan.
8. Disiplin
Kita tahu bahwa disiplin dan pengendalian diri merupakan karakter utama seorang muslim. Kita belajar dan melatih diri tentang kedisiplinan dan pengendalian diri melalui ibadah puasa dan perintah Allah itu menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang dalam Islam. Orang tua harus menjelaskan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak-anak, dan apa konsekuensinya jika hal itu dilanggar. Tentu saja larangan itu dalam batas-batas yang wajar. Misalnya, orang tua tidak melarang anak nonton tv sama sekali, tapi memberi batasan berapa lama anak boleh nonton televisi, misalnya cuma 30 menit. Orang tua juga harus menepati janji jika menjajikan sesuatu pada anak, karena jika tidak, anak akan menganggap orang tuanya tidak bisa dipercaya.
9. Rutin
Membiasakan anak-anak melakukan tugas-tugasnya dengan rutin, misalnya salat tepat waktu, membaca dan menghapal Al-Quran, membaca hadis, membiasakan membaca doa-doa Rasulullah sebelum tidur, beramal meski cuma dengan senyum, dan kebiasaan lainnya yang akan menjadi kegiatan rutin bagi anak kelak.
10. Memberikan Teladan yang baik
Rasulullah Saw. adalah teladan terbaik bagi kaum Muslimin. Bacakanlah kisah-kisah tentang Rasulullah Saw, pada anak-anak agar anak-anak mengikuti Sunah-Sunahnya dengan rasa cinta. Bacakan pula kisah-kisah tentang para nabi, sahabat-sahabat Nabi, dan pahlawan-pahlawan dalam sejarah Islam sehingga tumbuh rasa cinta anak pada Islam.
11. Melakukan perjalanan yang menyenangkan
Perjalanan yang menyenangkan bersama keluarga tidak harus selalu mengunjungi tempat-tempat wisata, tapi bisa juga mengunjugi masjid-masjid lokal. Kunjungan ke masjid sekaligus mengajarkan anak tentang bagaimana etika berada di dalam masjid dan menumbuhkan rasa cinta pada masjid, terutama bagi anak lelaki. Selain masjid, ajaklah mereka berkunjung ke tempat-tempat bersejarah Islam agar mereka tahu warisan-warisan budaya dan sejarah Islam.
Tips-tips di atas cuma menjadi acuan bagi para orang tua, khususnya para ibu untuk menanamkan pendidikan yang Islami sejak usia dini. Tentu saja ikhtiar ini harus didukung oleh doa orang tua yang tak putus-putus untuk anak-anak mereka, agar harapan akan anak-anak yang bertakwa pada Allah Swt terkabul. (ln/Khafayah Abdulsalam-ProdMuslim)
http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/kiat-mengasuh-anak-menjadi-pribadi-yang-percaya-diri-dan-islami.htm

Minggu, 02 Oktober 2011

Muslim Excellent : Ujian Komprehensif, Sesuatu Banget!

Oleh Dea Tanyo Iskandar
Ada yang tahu tentang ujian komprehensif?
Ya, sebagian dari kita mungkin agak asing mendengar istilah 'ujian komprehensif'. Tapi bagi sebagian yang lain mungkin terbiasa mencercap kekata ini. Ujian komprehensif adalah salah satu syarat untuk menempuh gelar akademis.

Bagi mahasiswa yang sedang bergelut dengan tugas akhir, biasanya akan mengikuti ujian ini, baik dalam bentuk oral test atau written test. Di jurusan kampus saya, sebelum diizinkan secara de jure memulai skripsi, mahasiswa harus melewati ujian ini. Belum lulus, ulang lagi. Belum lulus, ujian ulang lagi. Adik kelas saya konon sudah berbulan-bulan jatuh bangun dalam ujian ini (lebih dari 10 kali gagal ujian komprehensif). Adapun kalau sudah lulus, baru diizinkan mendapat dosen pembimbing.
Saya tidak akan bicara banyak tentang what, when, and how ujian komprehensif, atau tentang pro-kontra ujian kompre ini. Tapi ada satu hal yang menarik, yaitu behind the coprehensive test. Saya menyebutnya : Blessing in Disguise atau berkah tersamar.

Berangkat dari pengalaman saya dan kawan-kawan jatuh bangun pada ujian koprehensif semakin membuat saya faham, bahwa yang terbaik dalam ekspektasi manusia, tak selamanya baik dalam ekspektasi Allah.
Maksudnya begini. Dalam ujian kompre (komprehensif) misalnya, Saya dan kawan-kawan menganggap bahwa usaha belajar demi melewati ujian ini seakan sia-sia, jika tak kunjung berhasil melewati ujian kompre ini. Gagal, gagal, gagal dan gagal lagi. Lalu kita berkesimpulan : Jika gagal berarti buruk. Jika berhasil berarti baik. Apakah benar selalu demikian?

Dalam hidup, sadar tidak sadar kita akan menghadapi beragam ujian komprehensif yang serupa. Dan tidak selamanya kegagalan berkelindan dengan keburukan. Kehidupan yang Allah susun nyatanya punya logika yang berbeda. Dan nalar manusia sering tak menangkap itu. Tak selamanya gagal itu buruk, juga tak selamanya berhasil itu baik.

Dalam konteks yang lebih luas, kegagalan bisa jadi mendekatkan kita pada Allah, sedang keberhasilan jangan-jangan membuat kita berpuas diri lalu melupakan Allah. Kisah Tsa’Labah, sahabat Rasul yang dahulu rajin beribadah namun menjadi munafik setelah dibukakan pintu-pintu kekayaan oleh Allah sepatutnya menjadi pelajaran bagi kita dalam hal ini.

Dan sebaliknya, kegagalan bisa menjadi jalan yang merekatkan habluminallah. Banyak kawan-kawan saya yang sedang bergelut dengan tugas akhir dan ujian komprehensif, menjadi lebih sholeh dan dekat pada Allah. Qiyamul lail, Dhuha, sedekah, menjadi rutinitas yang meningkat drastis. Untuk yang ini, bolehlah kita berucap alhamdulillah.

Dalam logika yang lain, saat gagal kembali berulang, mungkin Allah sedang berucap : "Tidak, perjuanganmu belum optimal". Kemudian Allah menyiapkan episode/panggung pertandingan baru agar kita semakin sabar dan kuat. Agar kita terus meningkatkan kapasitas. Seperti besi, kita dibentuk, dibakar, dihantam dan ditempa jadi pedang.

Blessing in disguise yang lain : Bahwa dalam hidup, kita harus siap atas segala kemungkinan. Tidak hanya siap, tapi juga mempersiapkan diri atas setiap momentum yang akan datang. Karena keberhasilan atau keberuntungan adalah saat dimana kesempatan bertemu dengan kesiapan. Sehingga kegagalan tak tidak dijawab dengan excuse. “Justifying a fault doubles it”, Pembenaran atas kesalahan membuat kesalahan menjadi dua kali lipat. Begitu ujar pepatah Perancis.

Karena itu keberuntungan bukanlah sesuatu untuk ditunggu. Keberuntungan adalah sesuatu yang harus dijemput dengan menyiapkan diri sebaik-baiknya agar kita pantas menerima keberuntungan tersebut. Keberuntungan ada saat sebuah kesempatan datang, dan kita sendiri sudah siap menyambutnya.
Lalu bagaimana jika sudah berikhtiar maksimal namun tak kunjung berhasil? Atau jika telah melantunkan doa namun tak kunjung dikabulkan? Bisa jadi ini tanda cinta Allah pada kita. Ada masa-masa saat seorang hamba beriman berdoa namun tak kunjung membuahkan hasil. Pada saat itu sangat mungkin Allah melambatkan hasilnya karena menikmati rintihan permohonan hamba-Nya. Allah ingin agar kita selalu dekat dengan-Nya.
Perjuangan tidak semata bertolak pada hasil, melainkan pada proses. Dalam beberapa hal, proses itulah yang malah meningkatkan level kita. Dan ujian komprehensif atau ujian-ujian lain dalam hidup mengajarkan satu hal penting sebagai modal hidup kita : Mental tangguh.

Seperti kata Rasul, ‎"Ajruki 'ala qadri nashabiki". Ganjaranmu tergantung kadar lelahmu. Maka setiap tekanan hidup, kelelahan dan keletihan adalah cost bagi perjalanan sukses orang beriman. Ini senada saat Imam Ahmad suatu ketika ditanya, "Lalu kapan seorang beriman beristirahat?" jawabannya singkat namun bernas. "Istirahat orang beriman adalah di Surga".
Saudaraku, jangan berdoa meminta kehidupan yang mudah, tapi berdoalah menjadi orang yang kuat dalam hidup.

Akhirnya, mari kita terbangkan doa-doa kita kepada Allah, agar Ia memberikan keberuntungan sekaligus menambah kekuatan kita agar mampu melalui setiap ujian hidup.
Ujian Komprehensif? Sesuatu banget!
Dea Tantyo
Universitas Padjadjaran
http://www.eramuslim.com/oase-iman/dea-tanyo-iskandar-muslim-excellent-ujian-komprehensif-sesuatu-banget.htm