Kamis, 30 Desember 2010

Kisah Pernikahan Rasulullah saw Dengan Khadijah

Siang dan malam hati Khadijah telah terpikat oleh Muhammad Amin. Ia selalu mencari alasan untuk mendekatkan dirinya kepada putra Abu Thalib yang yatim itu. Ia terbakar dalam api cinta kepada putra Aminah itu. Siang hari ia selalu gundah dan di malam hari ia tertidur pulas dalam harapan untuk menyatu dengannya.


Suatu malam, dalam mimpinya Khadijah melihat matahari berputar-putar di atas Makkah, lalu turun ke bawah di dalam rumahnya. Ia menceritakan mimpi tidurnya itu kepada Waraqah bin Naufal. Waraqah menyingkap takbir mimpinya dengan berkata, “Engkau akan menikah dengan orang agung yang ketenarannya akan mendomisai jagad raya ini.”

Kecintaan kepada Muhammad Amin adalah kecintaannya kepada kejujuran dan spiritualitas, sebuah kecintaan kepada Tuhan Muhammad yang selama empat puluh tahun ia selalu bermunajat kepada-Nya di gua Hira`.

Jangan Anda mengira bahwa kecintaan putri Khuwailid, seorang wanita terkenal dan terhormat di Makkah itu adalah sebuah kecintaan fiktif. Atau Anda berpikiran bahwa kecintaannya bukanlah kecintaan suci dan tak bermakna. Tidaklah demikian. Khadijah adalah seorang wanita berakal yang seluruh wujudnya telah dikuasai oleh api asmara terhadap Muhammad al-Amin.

Khadijah tidak hanya terpesona oleh ketampananan Muhammad al-Amin yang menarik hati itu, sebagaimana kecintaan Zulaikha kepada Yusuf. Ia pernah mendengar dan melihat bahwa jagad raya ini tenteram karena keberadaannnya.

Persiapan Pernikahan

Abu Thalib sebagai orang besar di kalangan Quraisy dan dikenal dengan kedermawanan, keberanian, dan keteguhan jiwa sangat prihatin terhadap kondisi kehidupan keponakannya yang serba sulit. Ia mengambil keputusan untuk mengutarakan keinginannya kepadanya. Suatu hari ia berkata kepadanya, “Khadijah putri Khuwailid, salah seorang saudagar (kaya) Quraisy sedang mencari seorang yang dapat dipercaya untuk diserahkan tanggungjawab mengurus dagangannya dan membawanya ke negeri Syam (Syiria). Alangkah baiknya jika engkau memperkenalkan dirimu kepadanya.”

Untuk seorang pemuda berusia dua puluh lima tahunan seperti Muhammad yang masih dikuasai oleh rasa malu, usulan semacam itu amatlah berat baginya. Di sisi lain, kepribadian tinggi yang dimilikinya tidak mengizinkannya untuk melakukan hal semacam itu.

“Paman, Khadijah telah mengenal kejujuran dan amanahku. Mungkin ia sendiri yang akan mengutus seseorang kepadaku untuk mengutarakan usulan seperti usulan Anda itu”, jawabnya singkat.

Dan memang itulah yang terjadi. Karena ia sangat mengenal pemuda jujur Makkah itu dan juga mengetahui kondisi kehidupannya yang serba sulit. Menurut sebagian pendapat, ia juga mengetahui perundingan yang telah terjadi antara Muhammad al-Amin dan Abu Thalib. Ia mengutus seseorang untuk memanggil Muhammad. Ketika pertama kali bertemu dengannya, ia berkata, “Satu hal yang membuatku tertarik kepadamu adalah kejujuran dan akhlakmu yang baik. Saya siap memberi dua kali lipat (upah) dari yang biasa kuberikan kepada orang lain dan mengutus dua budak bersamamu untuk menjadi pembantumu selama dalam perjalanan.”

Muhammad menceritakan apa yang telah terjadi kepada pamannya. Sang paman menjawab, “Kejadian ini adalah sebuah perantara untuk sebuah kehidupan yang telah Allah skenariokan untukmu. Ini adalah sebuah rezeki yang telah Allah anugerahkan kepadamu.”

Rombongan pedagang Quraisy telah siap untuk berangkat. Setelah sampai di tujuan, semua barang dagangan terjual habis. Dan mereka juga melakukan transaksi di pasar Tuhâmah dengan membeli barang-barang dagangan yang diperlukan sewaktu mereka kembali ke daerah asal mereka. Rombongan dagang Khadijah yang memiliki laba melimpah di bawah kepemimpinan Muhammad itu akhirnya pulang kembali ke Makkah.

Sesampainya rombongan di Makkah, salah seorang budak yang bersama Muhammad itu berkata kepada Khadijah, “Anda memiliki berita bagus. Rombongan dagangmu telah kembali dari Syam dengan membawa laba yang melimpah dan barang-barang dagangan yang sangat bagus.”

“Apa yang telah kalian katakan itu? Kalian pasti memiliki kenangan indah dalam perjalanan kali ini. Coba ceritakan kepadaku”, kata Khadijah.

Maisarah menceritakan dua kenangan indah kepadanya: Pertama, Muhammad al-Amin berselisih pendapat dengan seorang pedagang dalam suatu masalah. Pedagang itu berkata kepadanya, “Bersumpahlah demi Lâta dan ‘Uzzâ. Barulah akan kuterima ucapanmu.” Muhammad al-Amin menjawab, “Makhluk paling hina dan paling kubenci adalah Lâta dan ‘Uzzâ yang kau sembah itu.”10 Kedua, di Bushra, Muhammad al-Amin duduk di bawah sebuah pohon untuk beristirahat. Salah seorang Rahib melihatnya dari tempat peribadatannya. Ia menghampirinya dan menanyakan namanya. Ketika mendengar nama Muhammad al-Amin, ia berkata, “Orang ini adalah nabi yang telah banyak kubaca kabar gembira berkenaan dengannya.”

Melalui kisah-kisah mengesankan itu dan pengenalannya yang yang telah lama terhadap pemuda istimewa Makkah itu, api cinta Khadijah semakin berkobar. Di samping memberikan upah sesuai dengan kontrak dagang, Khadijah juga memberikan hadiah kepadanya sehingga Muhammad dapat memperbaiki kondisi hidupnya. Semua yang diterimanya dari Khadijah itu diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib. Adalah benar bahwa Muhammad adalah seorang pemuda teladan, memiliki kemampuan manajemen hidup yang baik, sehingga keluarga-keluarga mulia Makkah merasa bangga ketika dapat menjalin hubungan kekeluargaan dengannya. Akan tetapi, Abu Thalib adalah orang terhormat dan pelindungnya.

Tata Cara Meminang

Khadijah menceritakan segala yang diketahuinya tentang Muhammad al-Amin kepada Waraqah bin Naufal. Dan Waraqah, orang pintar dari Arab yang telah mengenal Muhammad sebelum Khadijah mengenalnya, membenarkan semua ceritanya.

Pembenaran Waraqah itu menyebabkan Khadijah semakin menaruh hati kepada nabi yang dijanjikan itu. Bahkan dengan tegas ia menolak mentah-mentah semua pembesar Arab yang datang untuk meminangnya. Para pembesar seperti ‘Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal, dan Abu Sufyan adalah di antara para peminang Khadijah.

Tidak aneh—seperti kesaksian para ahli sejarah dan penulis biografi—jika Khadijah berkata kepada Muhammad, “Putra pamanku, dengan pengenalanku terhadap dirimu, aku sangat berharap dapat menikah denganmu.”

Muhammad Al-Amin itu pun menjawab, “Seyogianya aku mengutarakan masalah ini kepada paman-pamanku sehingga aku dapat mengambil keputusan atas dasar musyawarah dengan mereka.”

Sebagian ahli sejarah juga menulis, seorang wanita bernama Nafisah binti Aliyah, salah seorang sahabat Khadijah menyampaikan pesannya kepada Muhammad dengan berkata, “Mengapa di malam hari engkau tidak menyinari kehidupanmu dengan seorang istri? Jika aku mengajakmu kepada keindahan, kekayaan, dan kemuliaan, maukah kau menerimanya?”

Muhammad bertanya, “Siapakah maksudmu?”

“Khadijah”, jawabnya.

“Apakah ia rela dengan kondisi hidupku ini?”

“Ya. Tentukanlah harinya sehingga wakilnya dan seluruh kerabatmu duduk bersama untuk membicarakan pesta pernikahan.”11

Inilah Khadijah dan dunia indah kehidupan Muhammad al-Amin, seorang pemuda kharismatik Makkah yang tampak agung di mata seluruh masyarakatnya. Tuhannya pun memuliakannya. Khadijah adalah seorang wanita pemburu yang sangat mahir sehingga ia enggan menangkap “buruan” kecuali keponakan Abu Thalib yang yatim, meskipun sahabatnya yang berwawasan pendek dan musuhnya sering mencelanya dalam pilihannya yang suci itu.

Perdagangan itu hanya sebuah alasan untuk mewujudkan keinginan Khadijah yang jelas, sehingga ia dapat mengungkapkan kecintaannya yang membara dan keinginannya kepada kekasihnya tanpa perantara. Ia pernah berkata kepada Muhammad, “Engkau telah menguasai seluruh pikiranku. Aku mencintaimu seperti yang dikehendaki oleh Tuhanmu dan sesuai dengan keinginanmu.”

Mimpi Khadijah sudah mendekati kenyataan. Ia membaca takwil mimpi indahnya itu di sekujur tubuh putra Aminah itu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berkata kepada dirinya, “Ya Tuhan, apakah takdir menentukan demikian bahwa aku adalah wanita pertama yang dicintai oleh al-Amin, Muhammad yang orang lain harus tersiksa dan terkatung-katung demi menjalin hubungan dengannya?”

Dialog Khadijah dengan Muhammad al-Amin

Dengan pesan Khadijah, nabi yang dijanjikan itu pergi bertamu ke rumah Khadijah. Atau setelah bermusyawarah dengan pamannya, Abu Thalib ia pergi ke rumah Khadijah. Ia mendapatkan penghormatan khusus dari Khadijah dan melantunkan beberapa syair untuk itu.

“Apakah engkau memiliki keperluan yang dapat kulakukan?”

Putra Aminah tidak mengucapkan sepatah kata pun karena rasa malunya yang tinggi.

“Apakah aku dapat bertanya sesuatu kepadamu?”

“Silakan.”

“Apakah yang akan kau lakukan dengan upah perdagangan itu?”

“Apa maksudmu?”

“Aku ingin tahu apakah aku dapat melakuan sesuatu untukmu?”

“Pamanku, Abu Thalib menginginkan aku menikah dengan modal tersebut.”

Dengan senyuman yang bercampur dengan kebahagiaan Khadijah berkata, “Apakah kamu setuju jika aku merealisasikan keinginan pamanmu itu? Aku kenal seorang wanita yang—dari segi kesempurnaan dan kecantikan—sangat sesuai denganmu; seorang wanita yang baik, suci, dan berpengalaman. Sudah banyak orang yang ingin menjalin hubungan dengannya dan wanita-wanita pembesar Arab iri kepadanya. Wahai Muhammad, selayaknya kuceritakan juga kejelekan-kejelekannya. Ia pernah bersuami dua kali dan telah menjalani hidup bersamanya bertahun-tahun.”

“Siapakah namanya?”

“Budakmu, Khadijah!”

“Oh, Tuhanku! Ia telah bercerita tentang dirinya. Jika kuangkat kepalaku, apa yang dapat kukatakan?”

“Mengapa engkau tidak menjawabku? Demi Allah, aku sangat mencintaimu dan tidak akan pernah menentangmu dalam setiap keadaan.”

Diamnya Muhammad yang disertai dengan kewibawaan dan kesopanan itu membuat air mata Khadijah menetes, dan ia melantunkan beberapa bait syair secara spontan. “Hatiku telah tertambat kepadamu. Di dalam taman hatiku terdapat kecintaanmu. Jika engkau tidak menerima tawaranku, ruhku akan terbang dari ragaku.”

“Mengapa engkau tidak menjawabku? Kerelaanmu adalah kerelaanku dan aku selalu menaatimu.”

“Mengapa engkau berkata demikian? Engkau adalah ratu Arab dan aku seorang pemuda miskin.”

“Orang yang rela mengorbankan jiwanya untukmu, apakah ia mau mempertahankan hartanya? Wahai putra kepercayaan Makkah, wahai pondasi wujud dan seluruh harapanku, aku akan menutupi kepapaanmu. Seluruh wujud dan modal material dan sosialku ‘kan kukorbankan untukmu. Wahai matahari Makkah yang benderang, memancarlah dari jendela harapanku dan wujudkanlah harapan pamanmu yang sudah tua yang selalu mengharapkan engkau bersanding dengan seorang wanita. Jangan kau cela aku. Berikanlah hak kepadaku jika aku tergila-gila kepadamu. Zulaikha pernah melihat Yusuf dan ia menjadi tergila-gila, dan para wanita Mesir terpesona oleh ketampanannya. Engkau sangatlah agung. Jangan kau membuatku putus-asa. Demi Ka’bah dan bukit Shafâ, jangan kau usir aku dari dirimu. Bangun dan pergilah menemui paman-pamanmu, serta utuslah mereka untuk meminangku. Engkau akan mendapatiku sebagai wanita yang tegar dan setia.”

Rasulullah saw keluar dari rumah Khadijah dan pergi menemui pamannya. Kegembiraan dan kebahagiaan tampak terlukis di wajahnya. Ia melihat paman-pamannya sedang berkumpul. Abu Thalib memandang wajah Rasulullah seraya berkata, “Keponanaku, aku ucapkan selamat atas hadiah yang telah kau terima dari Khadijah. Kukira ia telah mencurahkan seluruh hadiah atasmu.”

Rasulullah berkata perlahan, “Paman, aku ingin sesuatu dari Anda.”

Dengan tidak sabar Abu Thalib bertanya, “Permintaan apa? Katakanlah sehingga kulaksanakan secepatnya.”

“Paman, berangkatlah sekarang juga bersama paman-paman yang lain dan pergilah menemui Khuwailid untuk meminang putrinya, Khadijah untukku,” jawabnya.

Tidak satu pun dari paman-pamannya yang mengabulkan permintaannya kecuali Abu Thalib. Ia berkata, “Buah hatiku, sebenarnya kami yang harus belajar darimu dan bermusyawarah denganmu dalam masalah seperti ini. Engkau sendiri mengetahui bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang sempurna, berkepribadian dan menjaga diri dari segala cela dan aib. Seluruh raja Arab, para pembesar Quraisy, para pembesar Bani Hasyim, raja-raja Yaman dan para pembesar Thaif telah meminangnya dan mereka bersedia mengorbankan harta berlimpah dalam hal ini, akan tetapi ia tidak menanggapi mereka semua dan melihat dirinya lebih tinggi dan lebih berkepribadian dari mereka. Anakku, engkau adalah seorang yang miskin dan tidak memiliki harta kekayaan. Khadijah adalah seorang wanita yang senang bergurau. Kukira ia ingin bergurau denganmu. Jangan kau anggap serius gurauan-gurauannya ini. Janganlah kau sebarkan berita ini, karena semua itu akan sampai ke telinga semua orang Quraisy.”

Abu Lahab berkata, “Keponakanku, jangan kau jadikan keluarga kami sebagai buah bibir seluruh penduduk Arab. Engkau tidak layak untuk seorang Khadijah.”

Abbas beranjak dari tempatnya dan menjawab perkataan Abu Lahab itu dengan lantang. Ia berkata, “Engkau adalah seorang yang hina dan berperilaku buruk. Cela apakah yang dapat mereka temukan berkenaan dengan keponakanku? Ia memiliki ketampanan yang memikat dan kesempurnaan yang tak terbatas. Bagaimana mungkin Khadijah menganggap dirinya lebih tinggi darinya? Dengan perantara harta, kecantikan, atau kesempurnaannya? Demi Tuhan Ka’bah, jika ia meminta mahar darinya, maka akan kutunggangi kudaku untuk berkeliling di padang sahara dan memasuki kerajaan para raja untuk menyediakan apa yang diminta oleh Khadijah itu.”

Rasulullah berkata, “Paman-pamanku, sudah terlalu lama kalian berdebat dengan masalah yang tidak ada gunanya. Kalian tidak perlu ikut campur dalam hal ini. Kalian tidak mengetahui apa yang kuketahui.”

Shafiah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah beranjak dari tempatnya seraya berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa setiap yang dikatakan oleh keponakanku ini adalah benar. Ia adalah seorang yang jujur. Mungkin saja Khadijah hanya ingin bergurau dengannya. Aku akan pergi untuk meneliti terlebih dahulu.”

Ia mengenakan pakaiannya yang mewah dan pergi ke rumah Khadijah. Sebagian sahaya Khadijah melihat Shafiah menuju ke rumahnya. Mereka mengabarkan hal itu secepatnya.

Pada waktu itu, Khadijah sudah beranjak untuk tidur. Ia turun dari rumah bagian atas ke bagian bawah dan memberikan izin kepada semua sahayanya untuk beristirahat. Akan tetapi, setelah mengetahui Shafiah hendak datang, ia bersiap-siap untuk menjamunya. Dan karena terburu-buru, bagian bawah bajunya terinjak oleh kakinya. Pada waktu itu, Shafiah masih berada di luar rumah. Ia mendengar ketika Khadijah berseru, “Tidak berbahagialah orang yang memusuhimu, wahai Muhammad!” Shafiah berkata kepada dirinya, “Sudah jelas bahwa ini bukanlah sebuah pegurauan.”

Ia mengetuk pintu rumah Khadijah. Para sahaya mengantarkannya bertemu Khadijah dan menjamunya dengan penuh kehormatan. Khadijah ingin mengambilkan makanan untuktnya. Akan tetapi, ia berkata, “Aku tidak datang untuk sebuah makanan. Aku datang untuk meneliti.”

Khadijah yang memahami maksudnya dengan isyarat tersebut berkata, “Hal itu benar. Jika kau mau, sebarkan hal ini atau rahasiakan saja dulu. Aku telah meminang Muhammad untuk diriku dan menerima mahar yang diusulkannya. Jangan sampai kalian membohongkannya. Aku tahu bahwa Tuhan semesta alam telah membenarkannya.”

Shafiah tersenyum merekah seraya berkata, “Aku memahami jika engkau memiliki rasa cinta demikian. Aku sendiri belum pernah melihat wajah bercahaya seperti wajah Muhammad, belum pernah mendengar ucapan yang lebih menarik dari ucapannya, dan belum pernah melihat gaya bicara yang lebih mulia dari gaya bicaranya.”

Shafiah ingin keluar dari rumah Khadijah, tapi Khadijah tidak mengizinkannya seraya berkata, “Sabar dulu sebentar.” Ia lalu beranjak dan mengambil secarik kain yang sangat berharga. Ia memberikannya kepada Shafiah sebagai hadiah, lalu memeluknya seraya memohon sesuatu. Ia berkata, “Demi Allah, tolonglah aku sehingga aku dapat menjadi istri Muhammad.” Shafiah berjanji untuk membantunya sekuat tenaga. Lalu, ia bergegas pergi ke rumah saudara-saudaranya.

Mereka bertanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab, “Ia begitu tergila-gila terhadap keponakan kalian sehingga sulit untuk menceritakannya.” Mendengar berita itu, mereka semua gembira dan bahagia kecuali Abu Lahab yang hal itu menambah kemarahan dan kebenciannya. Kemarahan dan kebenciannya itu sudah pernah terjadi sebelumnya dan sekarang bertambah parah. Abbas berkata lantang, “Sekarang ketika rencana sudah sampai pada tahap ini, mengapa kalian semua duduk di sini?”

Di sini, sejarah menukil satu pasal panjang tentang sikap Khuwailid terhadap Abu Thalib dan para peminang yang bersamanya. Mereka keluar dari rumah Khuwailid dengan penuh keputus-asaan. Akan teapi, sesuai dengan pendapat Kulaini dalam buku al-Kâfî dan al-Waqidi, yang melaksanakan akad pernikahan Khadijah adalah pamannya. Al-Waqidi menulis, “Khuwailid telah meninggal dunia sebelum peristiwa perang Fijâr.”

Seperti diriwayatkan oleh Abul Hasan al-Bakri, setelah putra-putra Abdul Muthalib keluar dari rumah Khuwailid, ketika Khadijah mendengar kejadian yang telah terjadi, ia berkata, “Katakanlah kepada pamanku, Waraqah untuk datang kemari.” Ketika ia datang, Khadijah sangat menghormati kedatangannya dan menanyakan perihal ketidakpeduliannya.

Waraqah melihat Khadijah dalam kesedihan yang dalam. Ia berkata, “Keponakankku, apa yang sedang terjadi? Mengapa engkau bersedih hati?”

“Mengapa aku tidak boleh sedih setelah semua harapanku terbang dibawa angin?” jawabnya.

“Selama ini aku belum pernah mendengar engkau berbicara demikian. Mungkin maksudmu adalah pernikahan?” tanyanya lagi.

“Ya”, jawabnya singkat.

“Pernikahan ‘kan buan suatu masalah yang penting. Para pembesar Arab telah meminangmu dan kamu pun menolak mereka”, jawabnya.

“Aku tidak ingin keluar dari Makkah”, katanya lagi.

“Tidak sedikit para peminangnmu yang berdomisili di Makkah, seperti Syaibah bin Rabi’ah, ‘Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal bin Hisyam, dan Shalt bin Abi Yahab. Tidak satu pun dari mereka yang kau terima”, kata Waraqah lagi.

“Aku tidak ingin suamiku memiliki cela”, jawab Khadijah.

“Mereka ini memiliki cela apa?”, tanya Waraqah.

“Syaibah adalah seseorang yang selalu berburuk sangka dan jelek hati, ‘Uqbah sudah tua renta, dan Abu Jahal adalah seorang yang kikir, sombong, dan selalu mengumpat. Adapun Shalt, ia tidak dapat memelihara wanita. Pamanku, apakah engkau mendengar berita bahwa ada orang lain selain mereka telah meminangku?”, kata Khadijah.

“Ya, aku mendengar berita itu. Muhammad bin Abdullah telah meminangmu”, jawab Waraqah.

“Apakah engkau melihat cela pada dirinya?”, tanyanya lagi.

Waraqah bin Naufal mengetahui banyak tentang kitab-kitab samawi. Ketika ia mendengar pertanyaan Khadijah itu, ia menundukkan kepala seraya berkata, “Apakah engkau ingin kuceritakan cela-celanya?”, tanyanya.

“Ya!”, jawab Khadijah.

Ia berkata, “Ia memiliki ras yang mulia dan keturunan yang berkepribadian. Ia memiliki wajah yang menarik, akhlak yang indah, keutamaan yang telah diketahui oleh khalayak, dan kemurahan hati yang sangat besar. Demi Allah, Khadijah, ini adalah sebuah kenyataan.”

Khadijah bertanya, “Sepertinya aku minta supaya engkau menceritakan cela-celanya!”

Waraqah berkata, “Khadijah, dahinya bercahaya bak bintang-gumintang, kedua matanya seperti permata yang bergemilau, dan bahasanya lebih manis dari madu yang murni. Ketika sedang berjalan, ia memancar seperti rembulan yang cemerlang.”

Khadijah berkata, “Pamanku, jangan bergurau. Tolong ceritakan cela dan aibnya.”

Waraqah berkata, “Semua wujudnya adalah keindahan, keturunannya bebas dari segala aib kekotoran, dan ia lebih tampan dari seluruh penduduk semesta alam. Ia memiliki hati yang penyayang. Rambutnya lembut dan terurai. Ia memiliki bau badan yang lebih harum dari minyak misik dan gaya bicara yang lebih manis dari madu. Khadijah, aku mengambil Allah sebagai saksiku, aku sangat mencintainya.”

Khadijah berkata, “Pamanku, setiap aku memintamu menceritakan cela dan aibnya, engkau selalu menceritakan karakter -karakter baiknya!”

Waraqah, “Anakku, dapatkah aku menceritakan karakternya untukmu?”

Khadijah berkata, “Pamanku, kebanyakan orang membuat-buatkan cela baginya dan mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang yang miskin. Jika ia miskin, kekayaanku sangat banyak. Bagaimana pun, aku sangat mencintanya dan aku pun telah meminangnya.”

Waraqah berkata, “Apa yang akan kau berikan padaku jika malam ini aku menikahkanmu dengannya?”

Khadijah berkata, “Apakah selama ini aku mempersulit urusan terhadapmu? Kuserahkan semua kekayaanku padamu. Pilihlah apa yang kau sukai.”

Waraqah berkata, “Khadijah, aku tidak menginginkan perhiasan dunia. Masa depan memiliki perhitungan dan terdapat kitab amal dan siksa. Keselamatan akan dimiliki oleh orang yang mengikuti Muhammad dan membenarkan risalahnya. Celakalah orang yang menyimpang dari jalan surga dan memilih jalan menuju neraka.”

Khadijah berkata, “Apa yang kau inginkan akan kuberikan padamu.”

Menurut versi sejarah ini, Waraqah pergi menemui Khuwailid untuk mengingatkannya agar tidak menolak Bani Hasyim dan mengkritik tindakannya yang tidak baik. Khuwailid beralasan, “Muhammad tidak memiliki kekayaan, dan kukira Khadijah tidak akan mau.”

Waraqah menjawab kedua alasan Khuwailid itu dan mengajaknya untuk pergi bersama ke rumah Abu Thalib demi menebus kesalahannya selama ini dan mengambil hati Bani Hasyim kembali. Akhirnya, Khuwailid menyerahkan seluruh urusan putrinya kepada Warqah bin Naufal di rumah Abu Thalib dan mengumumkan bahwa ia adalah wakilnya dalam semua urusan Khadijah.

Hamzah, paman nabi tidak puas dengan perwakilan ini dan menetapkan agar perwakilan itu dinyatakan di depan kaum Quraisy. Kemudian mereka bersama-sama datang ke Ka’bah dimana sekelompok orang sudah berkumpul disana seperti Shalat bin Abi Wahab, Hisyam bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam,Uqbah bin abi Mu’ith, Umayah bin Khalaf dan Abu Sufyan. Di hadapan mereka, Khuwailid juga mengakui perwakilan itu dan memutuskan bahwa esok harinya akan melangsungkan pertunangan resmi.

Imam Shadiq as bersabda: ”Ketika Rasulullah saw ingin menikahi Khadijah, Abu Thalib bersama rombongan Quraisy datang menemui paman Khadijah, Waraqoh bin Naufal. Pertama, Abu Thalib yang mulai berbicara dan berkata: ”Puji syukur kepada Tuhan seluruh alam pemilik rumah ini yang telah menjadikan kami dari golongan Ibrahim al-Khalil dan Ismail serta penghuni rumah-Nya yang penuh keamanan. Dia menjadikan kami sebagai hakim masyarakat dan mencurahkan nikmat-Nya dari tanah suci ini kepada kami. Inilah keponakanku, Muhammad bin Abdillah, orang termulia di kalangan Quraisy dan tidak satupun yang sepadan dan serupa dengannya. Sekalipun ia miskin dan tidak punya harta (tapi harta dan kekayaan adalah teman pengkhianat dan cepat pergi). Ia sangat mencintai Khadijah dan ia juga mencintainya. Kami datang untuk meminangnya. Berapa saja maskawin yang ia relakan kami akan memenuhinya, baik kontan maupun tidak. Ya Allah, saya bersaksi bahwa keponakannku adalah sosok agung dan memiliki masa depan yang jernih, agama serta keyakinan yang suci.”

Abu Thalib mengakhiri pembicarannya dan berakhir pula pertunangan dari pihak lelaki. Paman Khadijah, Waraqoh juga ingin berbicara, namun mulutnya terasa berat dan tidak bisa menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Disaat inilah Khadijah berbicara: Paman, sekalipun engkau pemegang semua urusanku dan saksi kehidupanku namun kali ini aku yang labih berhak maju, lalu ia mengucapkan akad nikah sendiri sebagai berikut:

”Muhammad yang mulia, aku nikahkan diriku untukmu dan maskawin serta biaya perkawinan ini aku ambil dari kakayaanku. Katakanlah kepada pamanmu untuk menyembelih unta, menyiapkan resepsi perkawinan dan masuklah ke rumah istrimu kapan saja engkau mau.”

Abu Thalib memanfaatkan kesempatan yang ada dan berkata: ”Jadilah kalian saksi bahwa Khadijah telah menerima maskawin yang diambil dari hartannya.” Sebagian orang Ouraisy yang hadir di situ, karena merasa iri, dengan suara mengejek berteriak; ”Aneh sekali! Dulu kaum lelaki yang memberi maskawin, tapi sekarang kami lihat orang perempuan yang justru menyerahkan maskawin kepada calon suaminya.” Abu Thalib merasa terpukul dan marah dengan ucapan ini (dia adalah lelaki kharismatik dimana orang ketakutan sewaktu marah) lalu berkata: ”Jika mempelai lelaki seperti keponakanku maka tidak menjadi masalahperempuan yang memberi maskawin yang mahal, akan tetapi jika yang menikah seperti kamu maka memang selayaknya kamu menanggung maskawin yang besar.”

Akhirnya, Abu Thalib menyembelih unta dan mengadakan walimah serta menikahkan Nabi saw dengan Khadijah.

(Disarikan dan diterjemahkan dari kitab Doston Izdiwaj Maksumin).

Senin, 27 Desember 2010

Kunci Syurga

Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang asar. Fatimah binti Rasulullah menyambut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. "Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeserpun."Fatimah menyahut dengan senyum manisnya, "Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta'ala." "Terima kasih," jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Tapi Fatimah tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih.


Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjama'ah. Sepulang dari sholat, di jalan ia dihentikan oleh seorang tua. "Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?"
Áli menjawab heran. "Ya betul. Ada apa, Tuan?''
Orang tua itu merogoh kantungnya seraya menjawab, "Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya."
Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.
Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari.

Ali pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan, "Siapakah yang mau menghutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan." Tanpa pikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.

Ketika Ali pulang, Fatimahpun keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Fatimah, masih dalam senyum, dan berkata, "Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang di murkai-Nya, dan menutup pintu surga buat kita."
Subhaanallah !

Sahabat, kapasitas kita mungkin belum mampu seperti Sahabat Ali bin Abi Thalib atau Sahabat Rosulullah lainnya yang memandang harta dan kekayaan hanya sebagai SARANA INVESTASI untuk mendapatkan KUNCI SORGA. Sedangkan kita masih selalu berfikir dan mungkin terus berusaha bagaimana memiliki investasi untuk mendapatkan KUNCI RUMAH, KUNCI MOBIL atau Kunci-Kunci yang lain.

Namun betapa pentingnya Kunci Rumah atau Kunci Mobil dalam kehidupan kita saat ini, janganlah kita lupa untuk berusaha mendapatkan KUNCI SORGA dengan selalu menyishkan Investasi dari yang tersisa yang ada ditangan kita, karena Allah Yang Maha Penyayang tidak pernah memandang sebelah mata atas kecilnya investasi kita jika kita dasari dengan totalitas KEIKHLASAN.

Senin, 20 Desember 2010

Menumbuhkan Bunga Cinta Di dalam Keluarga

Jika kita merasa bahwa kebahagiaan dan rasa cinta yang terjalin di dalam rumah tangga kita masih kurang, maka hendaklah kita mengerjakan shalat tahajud bersama pasangan hidup kita. Sebab, perbuatan tersebut dapat mengisi rumah tangga kita dengan kebahagiaan, kegembiraan, dan cinta.

Rasulullah Saw. bersabda, "Semoga Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun pada sebagian waktu malam, kemudian mengerjakan shalat (malam) dan membangunkan istrinya, dan jika sang istri enggan untuk bangun maka ia akan memercikkan air ke wajah istrinya; dan semoga Allah menyayangi seorang perempuan yang bangun pada sebagian waktu malam, kemudian mengerjakan shalat (malam) dan membangunkan suaminya, dan ketika suami enggan bangun maka ia akan memercikkan air ke wajah suaminya." (HR. Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad).



Pada suatu malam, Nabi Saw. keluar rumah, kemudian beliau pergi ke rumah Fatimah dan Ali dengan tujuan membangunkan mereka berdua untuk shalat malam. Beliau pun mengetuk pintu rumahnya (tampaknya mereka baru saja bangun tidur). Nabi Saw. bersabda, "Apakah kalian berdua telah shalat malam?" Ali menjawab, "Diri kami ini berada dalam genggaman Allah. Jika Dia menghendaki untuk membangunkan kami, niscaya Dia akan membangunkan kami."

Mendengar jawaban itu, Nabi Saw. pun meninggalkan mereka dalam keadaan marah. Ali berkata, "Saya mendapati beliau berpaling (untuk meninggalkan kami) sambil memukulkan tangannya ke pahanya, lalu beliau membaca firman Allah, 'Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah'." (QS. al-Kahfi: 54).

Nabi Saw. pernah bangun pada suatu malam, kemudian menemukan semua istrinya masih tidur. Beliau pun bersabda, "Siapakah (di antara kalian) yang membangunkan para penghuni kamar (istri-istri)nya? Maka sungguh di hari kiamat mereka akan telanjang." (HR. Bukhari).

Para sahabat Nabi juga mencontoh apa yang dilakukan Nabi tersebut. Umar bin Khaththab membangunkan keluarganya dan membaca firman Allah Swt., "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa." (QS. Thaha: 132).

Anas bin Malik Ra. selalu membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian. Anas melakukan shalat malam pada sepertiga malam yang pertama, kemudian ia membangunkan istrinya agar mengerjakan shalat malam pada sepertiga malam kedua, lalu istrinya membangunkan anak perempuannya -- yang merupakan anak satu-satunya -- agar mengerjakan shalat malam pada sepertiga malam yang ketiga.

Ketika sang istri wafat, Anas membagi waktu malamnya menjadi dua, separuh untuk dirinya dan separuh yang lain untuk anak perempuannya. Ia mengerjakan shalat malam pada separuh malam yang pertama, sedangkan anak perempuannya mengerjakan shalat malam pada separuh malam lainnya. Kemudian ketika Anas wafat, anak perempuannya berusaha keras untuk mengerjakan shalat malam sepanjang malam.

Inilah salah satu rahasia mengapa Rasulullah menasehati kita untuk mengerjakan shalat tahajud bersama-sama keluarga kita. Karena, ia akan menyuburkan kembali tanah cinta yang semula gersang, memekarkan bunga cinta yang semula kuncup, menambah kedekatan hati dengan pasangan hidup kita. Saat itulah waktu yang sangat jernih untuk menemukan makna cinta dalam satu biduk rumah tangga.

Semoga Allah memberikan kita kekuatan dan petunjuk agar kita dapat mengerjakan shalat tahajud bersama keluarga kita. Dan, semoga Allah memberikan rahmat-Nya karena apa yang kita lakukan tersebut. Amin ya Rabbal alamiin.

Kamis, 16 Desember 2010

Ketika Keluarga Menjadi Cahaya

Dikisahkan ada seorang ayah 23 tahun tinggal di Madinah yang mulai rapuh imannya, sholat sering ditinggalkan, pergaulan bebas mulai dinikmati, jalan-jalan pintas kejahatan juga ditempuhnya, lelaki ini menceritakan kisah hidupnya………….

"Saya memiliki anak laki-laki berusia 7 tahun, bernama Marwan. Ia bisu dan tuli. Ia dididik ibunya, perempuan shalihah dan kuat imannya. Suatu hari setelah adzan maghrib saya berada di rumah bersama anak saya, Marwan. Saat saya sedang merencanakan di mana berkumpul bersama teman-teman nanti malam, tiba-tiba, saya dikejutkan oleh anak saya. Marwan mengajak saya bicara dengan bahasa isyarat yang artinya,

"Mengapa engkau tidak shalat wahai Abi?"

Kemudian ia menunjukkan tangannya ke atas, artinya ia mengatakan bahwa

"Allah yang di langit melihatmu".

Terkadang, anak saya melihat saya sedang berbuat dosa, maka saya kagum kepadanya yang menakut-nakuti saya dengan ancaman Allah. Anak saya lalu menangis di depan saya, maka saya berusaha untuk merangkulnya, tapi ia lari dariku. Tak berapa lama, ia pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, meskipun belum sempurna wudhunya, tapi ia belajar dari ibunya yang juga hafal Al-Qur'an. Ia selalu menasihati saya tapi belum juga membawa faidah. Kemudian Marwan yang bisu dan tuli itu masuk lagi menemui saya dan memberi isyarat agar saya menunggu sebentar, lalu ia shalat maghrib di hadapan saya. Setelah selesai, ia bangkit dan mengambil mushaf Al-Qur'an, membukanya dengan cepat, dan menunjukkan jarinya ke sebuah ayat (yang artinya):

"Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaithan" (QS. Maryam: 45).

Kemudian, ia menangis dengan kerasnya. Saya pun ikut menangis bersamanya. Anak saya ini yang mengusap air mata saya. Kemudian ia mencium kepala dan tangan saya, setelah itu berbicara kepadaku dengan bahasa isyarat yang artinya,

"Shalatlah wahai ayahku sebelum ayah ditanam dalam kubur dan sebelum datangnya adzab!"

"Demi Allah, saat itu saya merasakan suatu ketakutan yang luar biasa. Segera saya nyalakan semua lampu rumah. Anak saya Marwan mengikutiku dari ruangan satu ke ruangan lain sambil memperhatikan saya dengan aneh. Kemudian, ia berkata kepadaku (dengan bahasa isyarat),

"Tinggalkan urusan lampu, mari kita ke Masjid Besar (Masjid Nabawi)."

Saya katakan kepadanya, "Biar kita ke masjid dekat rumah saja." Tetapi anak saya bersikeras meminta saya mengantarkannya ke Masjid Nabawi.

Akhirnya, saya mengalah kami berangkat ke Masjid Nabawi dalam keadaan takut. Dan Marwan selalu memandang saya.Kami masuk menuju Raudhah. Saat itu Raudhah penuh dengan manusia, tidak lama datang waktu iqamat untuk shalat isya', saat itu imam masjid membaca firman Allah (yang artinya),


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan munkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui" (QS An-Nuur: 21).


Saya tidak kuat menahan tangis. Marwan yang berada disampingku melihat aku menangis, ia ikut menangis pula. Saat shalat ia mengeluarkan tissue dari sakuku dan mengusap air mataku dengannya. Selesai shalat, aku masih menangis dan ia terus mengusap air mataku. Sejam lamanya aku duduk, sampai anakku mengatakan kepadaku dengan bahasa isyarat, "Sudahlah wahai Abi!" Rupanya ia cemas karena kerasnya tangisanku. Saya katakan, "Kamu jangan cemas." Akhirnya, kami pulang ke rumah. Malam itu begitu istimewa, karena aku merasa baru terlahir kembali ke dunia.

Istri dan anak-anakku menemui kami. Mereka juga menangis, padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi.

Marwan berkata tadi Abi pergi shalat di Masjid Nabawi. Istriku senang mendapat berita tersebut dari Marwan yang merupakan buah dari didikannya yang baik.

Saya ceritakan kepadanya apa yang terjadi antara saya dengan Marwan. Saya katakan:

"Saya bertanya kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah kamu yang mengajarkannya untuk membuka mushaf Al-Qur'an dan menunjukkannya kepada saya?"


Dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak tiga kali bahwa ia tidak mengajarinya. Kemudian ia berkata:

"Bersyukurlah kepada Allah atas hidayah ini."


Malam itu adalah malam yang terindah dalam hidup saya. Sekarang -alhamdulillah saya selalu shalat berjamaah di masjid dan telah meninggalkan teman-teman yang buruk semuanya. Saya merasakan manisnya iman dan merasakan kebahagiaan dalam hidup, suasana dalam rumah tangga harmonis penuh dengan cinta, dan kasih sayang.Khususnya kepada Marwan saya sangat cinta kepadanya karena telah berjasa menjadi penyebab saya mendapatkan hidayah Allah."



Subhanallah......, betapa indahnya ketika anak, istri dan suami kita menjadi sholeh dan sholehah, ketampanan dan kegagahan lelaki memang memikat demikian juga kemolekan wanita lebih sangat memikat. Namun apalah artinya ketampanan dan kemolekan itu tak mampu sedikitpun memberikan kedamaian dan keharmonisan rumah tangga ?

Syukuri keberadaan keluarga kita saat ini, pupuk terus dan tumbuhkan menjadi manusia-manusia yang hebat yang mampu memberikan cahaya dalam rumah tangga kita, rumput dan tanaman di luar kadang terasa lebih indah dan kita lupa bahwa rumput dan tanaman yang ada di rumah jauh lebih indah dan dapat kita nikmati setiap saat. Tidak rindukah kita menjadi Bidadari dan Bidadara yang hidup kekal dalam segala bentuk kenikmatan.


"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS Al Jatsiyah : 23)

Selasa, 14 Desember 2010

Asy syafi’i, -dan aku- menangis

Satu saat asy syafi’i ditanya

mengapa hukuman bagi pezina sedemikian beratnya

wajah asy syafi’ memerah, pipinya rona delima

“karena”, jawabnya dengan mata menyala

“zina adalah dosa yang bala’ akibatnya mengenai semesta

keluarganya, tetangganya, keturunannya

hingga tikus di rumahnya dan semut di liangnya”

***

ia ditanya lagi

dan mengapa tentang pelaksanaan hukuman itu,

Allah berkata,

“Dan janganlah rasa ibamu pada mereka

menghalangimu untuk menegakkan agama!”

***

asy syafi’i terdiam

ia menunduk, ia menangis

setelah sesak sesaat, ia berkata

“karena zina seringkali datang dari cinta

dan cinta selalu membuat kita iba

dan syaithan datang untuk membuat kita lebih mengasihi manusia

daripada mencintaiNya”

***

ia ditanya lagi

dan mengapa, Allah berfirman pula

“Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka

disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

bukankah untuk pembunuh, si murtad, pencuri

Allah tak pernah mensyaratkan menjadikannya tontonan?

***

janggut asy syafi’i telah basah

bahunya terguncang-guncang

“agar menjadi pelajaran”

ia terisak

“agar menjadi pelajaran”

ia tersedu

“agar menjadi pelajaran”

ia tergugu

***

lalu ia bangkit dari duduknya

matanya kembali menyala

“karena ketahuilah oleh kalian..

sesungguhnya zina adalah hutang

hutang, sungguh hutang..

dan.. salah seorang dalam nasab pelakunya

pasti harus membayarnya!”

***

kutulis dengan menangis, semoga menjadi pengingat yang terwaris

-salim a. fillah-

sumber :http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2009/02/asy-syafii-dan-aku-menangis/

==Nafkah==

Setiap perkawinan dalam sebuah balutan rumah tangga hampir dipastikan bertujuan untuk mewujudkan sebuah keluarga yang dapat menjadi sakinah (tenang), mawadah (penuh cinta) dan rahmah (sarat kasih sayang).

Namun, dibalik itu semua ada satu hal yang harus dicermati dalam kelangsungan sebuah rumah tangga yaitu faktor yang essensial dan sebuah amanah dalam proses berumah tangga. Saya menyebutnya, NAFKAH

Nafkah dapat berupa nafkah lahiriah, batin.

Landasan Teori :

Secara bahasa nafkah (النفقة) diambil dari kata infak (الإنفاق) yang berarti pengeluaran, penghabisan (consumtif) dan infak tidak digunakan kecuali untuk yang baik-baik. Adapun menurut istilah nafkah adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia daripada sandang, pangan dan papan. perbedaan pendapat di kalangan para ulama fikih tentang siapa-siapa saja yang berhak untuk mendapatkan nafkah. Ini diukur berdasarkan seberapa dekat dan jauhnya seorang yang menerima infak kepada si pemberi infak.

A. Mazhab Maliki

Infak hanya wajib untuk istri, kedua orang tua dan anak-anak saja. Mereka berdalilkan: (Al Isra':23) وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا " dan kepada kedua orang tua berbuat baiklah" dan (Al Luqman:16) وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا "Dan dampingilah keduanya di dunia dengan cara yang ma'ruf". sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada seorang yang mengadu kepada Rasulullah bahwa bapaknya meminta-minta hartanya: إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَمْوَالَ أَوْلَادِكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ فَكُلُوهُ هَنِيئًا رواه أحمد "Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah hasil upayamu sendiri dan harta-harta anak-anakmu adalah hasil upaya kamu sendiri.



dari dalil-dalil di atas secara zahir bahwa penerima wajib infak kedua orang tua dan anak-anak saja.



B. Mazhab Syafi'i

Dalam mazhab Syafi'i bahwa tidak hanya istri, kedua orang tua dan anak-anak yang wajib diberikan infaknya sebagaimana mazhab Maliki di atas, tetapi juga segala ushul yang ada di atas kedua orang tua seperti kakek dan nenek serta segala furu' yang ada di bawah anak-anak seperti cucu, cicit dan terus ke bawah. Mereka berdalilkan sebagaimana dalil-dalil Malikiyah hanya saja mereka mentafsirkan ( الوالد) lebih luas mencakup kedua orang tua dan segala ushul yang ada di atasnya dan (الأولاد) mencakup anak-anak dan segala furu' yang ada di bawahnya sebagaimana friman Allah SWT: (Al Hajj: 77) مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ dan (Al A'raf:31) يا بني آدم



C. Mazhab Hanafi

mazhab Hanafi lebih luas lagi melebihi mazhab Maliki dan Syafi'i dimana ada penambahan, yaitu kewajiban memberikan nafkah kepada kepada saudara kandung (القرابة المحرمة) seperti kakak dan adik kandung. Mereka berdalilkan firman Allah SWT: (An Nisa:36) وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَي "....dan sembahlah Allah jangan engkau menyekutukannya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua."



(Al Isra:26)وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّه "...dan berikanlah hak saudara-saudaramu."



Akan tetapi ini hanya sebatas saudara kandung saja, adapun yang bukan saudara kandung seperti paman, sepupu dan saudara jauh lainnya tidak termasuk objek infak sebab Hanafiyah mengamalkan qiro'at Ibnu Mas'ud: ( Al Baqarah:233) و على الوارث ذي الرحم المحرم مثل ذالك "Dan atas ahli waris yang punya ikatan mahram adalah yang seperti itu pula."



D. Mazhab Hambali

mazhab yang paling luas dalam kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga, dimana tidak hanya mencakup keluarga dekat saja sebagaimana mazhab-mazhab di atas tetapi juga keluarga jauh yang masih ada pertalian warisan seperti paman, bibi, sepupu dan dzawi al-arham yang masih punya nasab terhadap ushul seperti ayahnya ibu. Mazhab Hambali tidak mensyaratkan adanya hubungan mahramiyah (saudara kandung) walaupun berdalilkan dengan dalil yang sama sebagaimana mazhab Hanafi hanya saja Hambaliyah tidak mengamalkan qiro'at Ibnu Mas'ud yang dijadikan hujjah oleh Hanafiyah. Allah SWT berfirman: (البقرة: 233Al Baqarah: 233) و على الوارث مثل ذالك "Dan atas ahli waris (yang umum) mendapatkan yang seperti itu pula."



Dalam ayat di atas ahli waris berhak mendapatkan harta waris karena di dalam diri ahli waris terdapat hubungan kekerabatan. Sebagaimana harta waris wajib diberikan kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan, begitu pula nafkah wajib diberikan kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan.



Dari perbandingan di atas dapat kita tarik benang merah bahwa para ulama fikih bersepakat untuk mewajibkan memberi nafkah kepada istri, kedua orang tua dan anak-anak dan adapun di luar itu mereka berbeda pendapat



mazhab ulama-ulama tasawuf lebih luas lagi dari sekedar hanya memberikan nafkah kepada sanak saudara saja, dimana mereka mewajibkan dirinya untuk memberikan nafkah kepada semua orang yang membutuhkan walaupun harus mengorbankan sanak keluarga dan diri sendiri. Mereka berdalilkan:

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung." (Al Hasyr:9)

Ayat di atas menceritakan akhlak kaum Anshor yang lebih mengutamakan kaum Muhajirin



ini adalah mazhab para sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in seperti Abu Bakar Siddiq Radhiyallahu 'Anhu yang menafkahkan seluruh hartanya kepada jihad tentara Islam. Setelah itu ketika ditanya oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Bagaimana akan nasib keluargamu jika kamu menyerahkan seluruh hartamu?" Abu Bakar menjawab: "Mereka kuserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya SAW." Begitu juga Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu menyerahkan separuh hartanya untuk jihad kaum Muslimin yang sudah dapat dipastikan sikapnya itu akan mengguncangkan perekonomian keluarganya. Begitu pula Utsman bin Affan Radhiyallahu 'Anhu, walaupun beliau banyak hartanya namun sedikit banyak ini akan mengganggu anggaran belanja keluarganya yang besar. Begitu pula Sayyidina Ali Karramallahu Wajahahu yang sering memberikan makan kepada fakir miskin selain keluarganya walaupun keluarganya dalam keadaan lapar. Radhiyallahu 'anhum.



Dasar Hukum :

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Thalaq : 7)



Sabda Rasulullah saw,”Berilah dia (istrimu) makan tatkala kamu makan, berilah dia pakaian tatkala kamu berpakaian..” (HR. Abu Daud)



“Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiakan orang yang harus diberi belanja.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Q.S. Al Baqarah : 233). Sedangkan hak mereka (istri istri) yang harus kalian penuhi adalah kalian memberikan pakaian dan makanan kepada mereka dengan baik.” (HR. Tirmidzi (II/204) (Adabuz Zifaf hal. 238).



diriwayatkan oleh Muslim dari Tsauban berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Sebaik-baik dinar yang dibelanjakan seorang suami adalah : dinar yang dinafkahkan kepada keluarganya, dinar yang dibelanjakan untuk kendaraannya didalam jihad di jalan Allah dan dinar yang dibelanjakan untuk para sahabatnya di jalan Allah swt.”



"Berilah makan istri-istrimu dengan apa-apa yang kamu makan dan pakaiankanlah mereka dengan apa-apa yang kamu pakai dan janganlah kamu memukul serta merendahkan mereka (Riwayat Abu Daud)



“Dan janganlah kamu iri hati apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu, lebih banyak dari yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (An Nisa’:32)

Sabda Rasulullah Saw.: “Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Lelaki adalah pemimpin di rumah tangganya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya”. (HR Bukhari)

Rasulullah SAW bersabda : Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik

‘Barangsiapa yang mengabaikan pendidikan anak, maka ia telah berbuat jahat secara terang-terangan ’ Ibnu Qayyim.

Tiada pemberian seorang bapak terhadap anak-anaknya yang lebih baik dari pada (pendidikan) yang baik dan adab yang mulia.’ (HR At-Tirmidzy)

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)



Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)



Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Tafsir Al-Karimir Rahman, hal. 102)



“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq: 7)



Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)



Case:

Sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra. dikisahkan bahwa pada suatu hari Hindun istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW, “Sungguh Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak memberiku belanja yang cukup buat anak dan diriku, sehingga terpaksa aku mengambil hartanya tanpa sepengatahuannya.” Nabi pun menanggapi, “Ambillah sebanyak yang mencukupi diri dan anakmu dengan wajar.”



Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)



Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:



“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)



Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”



Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)



riwayat dari Sa'id ibnu Musayyab Radhiyallahu 'Anhu.: "Dari Sa'id ibnu Musayyab yang pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki apa-apa untuk diinfakkan kepada istrinya maka ia berkata agar keduanya bercerai saja."



WHY

“Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling cinta mencintai.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dihasankan oleh Al Albani).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Saw memberitahukan kepadanya yang artinya: "Alloh Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam! Berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rezeki) kepadamu." (Shahih Muslim)

Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda : "Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara; sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang mendo'akannya". (HR.Muslim 3084)





Serendah-rendahnya nafkah yang diwajibkan syariat adalah kepada diri sendiri karena inilah pintu untuk dapat memberikan nafkah kepada orang lain. Jenis barang yang wajib dinafkahkan tidak keluar dari tiga benda yaitu:

1. sandang

2. pangan dan,

3. papan



Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Mulailah dari diri kamu sendiri, maka infaqkanlah dirimu, jika ada lebih maka untuk keluargamu, jika ada lebih lagi maka untuk saudara-saudaramu, jika ada lebih lagi maka untuk si ini, si ini dan seterusnya." urutan pihak-pihak yang wajib diberikan nafkah dari yang paling kuat prioritasnya sampai yang paling lemah:

1. Istri, karena wajib selama-lamanya.
2. Anak yang masih kecil dan anak yang sudah besar namun gila, karena keduanya sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah.
3. Ibu, karena lebih lemah dari bapak dan haknya lebih besar sebab ibulah yang mengandung, melahirkan, menyusui dan mentarbiyah di rumah.
4. Bapak, karena kemuliaan dan keutamaannya.
5. Anak yang sudah besar tetapi tidak mampu mencari nafkah dan kedekatannya dengan bapak dan pantas untuk tetap dihormati.
6. Kakek, karena kehormatannya seperti kehormatan bapak.

Kadar Nafkah Terhadap Istri



Kadar nafkah terhadap istri itu ditentukan oleh kondisi kemampuan suami, sebab dalam infak, kadar infak itu bergantung kepada si pemberi infak bukan kepada si penerima infak. Dalilnya adalah firman Allah SWT: (Ath Thalaq: 7) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا "Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya dan orang-orang yang disempitkan rezekinya hendaknya memberikan nafkah sesuai apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah nanti akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan"



Dalam ayat di atas yang dijadikan timbangan kadar infak adalah mengikut kepada 'uruf dan kondisi suami bukan kepada kondisi istri. Maka banyak dan sedikitnya infak, begitu pula baik dan buruknya kualitas infak bergantung kepada senang dan susahnya suami.

(sumber:http://www.darulhasani.com/)



6 Tanda Anda Sukses Mengelola Keuangan

1. Anda lebih banyak menabung daripada membelanjakan uang

2. Anda menghargai komitmen terhadap uang.

3. Anda tidak memiliki utang

4. Anda selalu bersikap skeptis

5. Anda mampu pensiun pada usia 50 tahun.

6. Anda memiliki reputasi kejujuran.

(sumber:http://female.kompas.com/)



Agar Pernikahan Membawa Berkah

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

3. Sikap toleran (Tasamuh)

4. Komunikasi (Musyawarah)

5. Sabar dan Syukur

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)

(sumber: http://www.dakwatuna.com/)

(Dikumpulkan dari berbagai sumber)

Senin, 06 Desember 2010

Sakinah Bersamamu, Belajar Lebih Bijak Berumahtangga melalui Cerita

Judul : Sakinah Bersamamu
Penulis : Asma Nadia
Penerbit : Asma Nadia Publishing House

Cinta bukanlah mencari pasangan yang sempurna,tapi menerima pasangan kita dengan sempurna.

 Awalnya  baca buku ini gara2 liat py temen kantor, katanya sih tulisan terbarunya Mba Asma Nadia(wah kebetulan dah lama ngga baca2 bukunya mba asma sejak jaman2 sekolah dulu, dulu tuh sempet ngefans sama bukunya mba asma yg aisyah putri abisnya bahasanya ringan sih jd mudah dipahami deh selain mang ceritanya lucu jg)  Nah pas liat buku ini kok ya jd kangen jg ya tuk baca bukunya Mba Asma eee pas diliat2 ternyata menarik juga, ya walaupun blm nikah boleh juga lah buat referensi hehehe...Pokoknya ngga nyesel deh baca buku ini, bahkan saking tertariknya nih buku ngga sampai seminggu kali dah selesai dilahap(mangnya makanan apa ;)))...Cerita yg q suka itu yg judulnya Sejuta Kasih, wah tuh yg satu ini sempet pas bacanya ngga kerasa air mata kok ya netes ya (padahal waktu itu lagi baca di Metro Mini pas mau berangkat kerja xixixi..ada2 aja ya, untung ngga ada yg liat, mungkin krn ketutupan jilbab kali ya...alhamdulillah mungkin ini salah satu hikmahnya pake jilbab kali yaa hehehe)....Pokoknya yg blm baca, baca aja deh dijamin ngga kan nyesel coz byk pelajaran yg bisa kita petik terutama pelajaran kehidupan dalam berumah tangga...Spy ngga penasaran nih ada sinopsisnya..

17 Cerita + 17 pembahasan seputar ujian dalam rumah tangga:
@ Menjembatani perbedaan karakter
@ Bunda bekerja atau di rumah?
@ Bertindak tepat saat cemburu
@ Mengatasi ‘Cinta Lama Bersemi Kembali’
@ Menjadi bunda yang lebih baik
@ 3 alarm: selangkah menuju selingkuh
@ Menyembuhkan hati yang luka
@ Bakti seorang perempuan: antara orang tua, suami dan mertua

Sinopsis:
Bagaimanakah warna cinta setelah 25 tahun berlalu?
Bisakah dia tetap pelangi?

Tak ada yang sempurna di kolong langit. Tidak dia, Bang Zaqi, dan pernikahan mereka. Sebab kesempurnaan hanya boleh dilekatkan pada nama-Nya semata.

Riri bukan tidak menyadari hal ini. Tetapi salahkah jika perempuan itu menyimpan harapan bahwa mereka akan memiliki cinta yang sempurna?
Ia ingin cinta, hari-hari sakinah, hanya itu yang terbayang saat mengenang perjalanan kasih mereka. Bayang-bayang kebersamaan yang selalu berkejaran begitu jelas di pelupuk mata, setiap kali memandangi Bang Zaqi terlelap.

Tapi tak ada cinta yang tak diuji.
Lalu haruskah dia menyerah kalah ketika cinta yang selama ini nyaris sempurna, diguncangkan badai? Saat sosok yang tak pernah mengecewakan ternyata sanggup menggoreskan luka?

Ini memang bukan kisah cinta sempurna.
Tetapi kisah dua anak manusia yang belajar menyempurnakan cinta.
Belajar menerima, memberi dan memperbarui cinta.
hingga mereka menutup mata

“Kenapa kita menikah, Bang? “Tanyaku suatu hari.
Kau menjawab mantap, tanpa sebersit pun keraguan:
“Sebab tanpamu tak ada pernikahan bagiku…”

---

Bersama Sakinah Bersamamu, ada 16 cerita pendek lain seputar rumah tangga. Dari cerpen-cerpen di dalamnya ada yang pernah diterbitkan bertahun-tahun lalu. Tetapi buku ini bukan hanya sebuah kumpulan cerpen. Pembaca juga akan menemukan obrolan seru dan akrab bersama pengarang di setiap akhir cerita, tentang berbagai ujian rumah tangga.
Belajar Lebih Bijak Berumahtangga Melalui Cerita? Insya allah.
Semoga sakinah, mawaddah dan rahmah Allah hadirkan di setiap jengkal rumah kita.

Selasa, 30 November 2010

Agar Pernikahan Membawa Berkah

dakwatuna.com - Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil. Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?
1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).
Inilah keberkahan yang hakiki. []
By : Ustadzah Sri Kusnaeni
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2006/agar-pernikahan-membawa-berkah/

Mengurus Anak Adalah Investasi

Sulit kiranya menemukan kata yang pas yang dapat menggambarkan apa dan bagaimana itu mengurus anak. Bagi saya, mengurus anak adalah pekerjaan yang paling berat yang pernah saya rasakan, tapi juga paling menyenangkan.

Mendampingi pertumbuhan manusia-manusia yang sedang gencar-gencarnya belajar. Sebuah proses yang panjang, yang sering menghadirkan kepingan-kepingan peristiwa penuh emosi yang kaya makna. Membuat saya tercenung, tertawa, menangis, dan campuran-campuran emosi lainnya. Allohu akbar wa lillahilhamd.


Sekeping peristiwa sore tadi. Anak pertamaku (2th 4 bln) pipis sembarangan. Padahal, sejak setengah jam sebelumnya saya sudah mengingatkan untuk pipis di kamar mandi. Gemas sekali rasanya. Tapi saya tahan untuk tetap terkendali, namun, tetap saya tunjukkan kekecewaan padanya. ”Astaghfirulloh Aa, anak sholih, masa pipis sembarangan, kan Ummun udah ingetin dari tadi. Katanya tadi iya, kalau pipis di kamar mandi..”

Akhirnya saat hendak membersihkan air pipis tersebut, anak kedua saya (Dede, 1th 3bln) yang jalannya masih belum stabil saya simpan di kasur, agar tidak terpeleset saat saya mengepel dan anak pertama (Aa) saya angkat ke kamar mandi.

Nah, agar tidak keluar dan jalan-jalan dengan kaki membawa pipis, pintu kamar mandi saya tutup sambil bilang, ”Aa, Ummun ngepel pipisnya dulu ya, Aa disini jangan keluar.” Bruk. Pintu saya tutup. Tentu kedua batita saya itu menangis sejadi-jadinya. Dede menangis minta turun dari kasur, Aa teriak-teriak minta keluar.

Sepanjang saya mengepel, ada yang berbeda dengan tangis Aa. Bukan tangisan biasa tapi tangis ketakutan di dalam kamar mandi. ”Ummun..Ummun..Aa semut Ummun, Aa kuaah...UMMUUN...UMMMUUUN...” Biasanya tidak demikian, dia hanya menangis sebentar dan kemudian bermain air.

Benar saja, saat saya masuk ke kamar mandi dengan adiknya, dia dibalik pintu sampil mengangkat bajunya, satu tangan mengepal dimasukkan ke dalam baju dan agak diputar di depan dadanya. Kemudian saya tempelkan tangan saya ke dadanya, jantungnya berdebar kencang. Namun, tidak saya dapati semut disekelilingnya. Hmm..entahlah.

Dede saya turunkan dan saya peluk anak pertama saya itu, sambil menjelaskan kenapa ia saya tinggal di kamar mandi dengan pintu tertutup. Ia masih terus saja minta keluar dan jeritnya semakin keras ketika pintu saya tutup. Karena memang mereka hendak saya mandikan. Ia terus saja minta keluar.

Seperti trauma melihat pintu ditutup. Saya terus memeluknya dan menciumnya hingga ia tenang. Saya alihkan dengan menunjuk serangga-serangga kecil yang menempel di dinding kamar mandi. Akhirnya ia tenang dan kembali mengoceh, ”Ih apa itu, Ummun, apa itu?”. Huft...

Child abused, ya inilah kekerasan terhadap anak. Dia sampai ketakutan begitu rupa, memang tidak sepantasnya saya mengurung dia seperti itu di kamar mandi meski dalam waktu yang terukur. Seharusnya saya membersihkan Aa terlebih dulu kemudian memintanya agar tetap di kasur menemani Dedenya.

Kemudian saya membersihkan air pipisnya di lantai. Tadi saya hanya berpikir praktisnya saja, Dede saya simpan di kasur agar tidak terpeleset dan Aa saya simpan di kamar mandi agar tidak jalan-jalan, kemudian setelah selesai mengepel, Dede saya bawa ke kamar mandi dan saya mandikan berbarengan. Ternyata saya keliru. Astaghfirulloh. Semoga sikap buruk saya tadi tidak berefek panjang terhadap kesehatan psikologisnya. Amin.

Ya, mengurus anak dengan baik itu butuh keinsyafan tingkat tinggi. Butuh pengelolaan emosi yang handal. Butuh ketenangan dan kecerdasan, baik kecerdasan emosi maupun kecerdasan taktis strategis. Dan sebagai manusia, tentu saja kita tidak melulu dalam keadaan emosi yang baik, yang stabil. Disinilah seninya saya rasa. Pada titik inilah kecerdasan kita diuji.

Jika kita berhasil melewati waktu-waktu emosional itu dengan solutif maka kecerdasan kita akan naik peringkatnya, namun jika kita menuruti hawa nafsu, kedzolimanlah yang terjadi. Dan rasakanlah bahwa hati segera menjadi keruh dan butuh waktu dan energi yang cukup banyak untuk menjernihkannya. Maka, tahanlah hawa nafsu sedapat mungkin kita mampu. Tetaplah berpikir jernih. Perbanyaklah lafadz istighfar dan ta’awudz.

”Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran TuhanNya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at:40-41).

”Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang dan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Alloh mencintai orang yang berbuat kebaikan,.”(QS. Ali ’Imran: 133-134)


Menjadi orang tua yang sukses tentu menjadi salah satu jalan kita mendapatkan surga. Dan sudah dari dulu semua tahu, mendapat surga memang tidak murah. Jangankan surga, mau menikmati fasilitas hotel mewah saja harus merogoh kocek lebih dalam kan? Sementara ada makhluk yang tidak akan rela begitu saja saat kita meniti jalan menuju surga.

Merekalah yang senantiasa menghalang-halangi, merekalah yang membuat kita menganggap baik meledaknya amarah kita. Dan jumlah mereka banyak. Jangan turuti langkah-langkah syetan, sesungguhnya merekalah musuh yang nyata. A’udzubilllahiminasysyaithonnirrodzhimi min hamdzihi wanafkhihi wanafsihi.

Namun, jika amarah sudah terlanjur diperturutkan, lengan sang anak sudah kadung biru karena dicubit, jiwa anak sudah terlanjur luka dengan rengkuhan kasar kita, hati mereka sudah tertoreh umpatan dan tatapan kasar kita.

Maka, bersegeralah minta maaf padanya, dengan penuh keikhlasan. Berjanjilah padanya untuk tidak mengulanginya. Mohonlah ampun pada Alloh atas perbuatan kita yang telah menyia-nyiakan amanahNya.

”dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Alloh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa selain Alloh? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ’Imran:135)

Senantiasa ingatkan diri kita, betapa marahnya Rasulullullah (salawat dan salam baginya) mendapati sikap kasar seorang ibu. Ketika Ummu Fadhl secara kasar merenggut bayi dari gendongan Nabi (salawat dan salam baginya) lantaran sang bayi pipis dan membasahi pakaian Rasul (salawat dan salam baginya).

Maka Rasululloh shalallahu ’alaihi wassalam menegur,”Pakaian yang basah ini dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutan yang kasar itu?”

Astaghfirullohal’adzhim. Entahlah, apa yang mampu menghilangkan kekeruhan jiwa mereka. Semoga dengan permintaan maaf yang ikhlas kepada sang anak dan taubat kita kepada Alloh, Allohlah yang akan menyembuhkan jiwa-jiwa suci mereka yang terluka itu. Berazzamlah untuk tidak mengulanginya lagi.

Karena pada jiwa-jiwa itulah kita menitipkan bermiliar-miliar harapan, kita lantunkan jutaan doa. Dan jika Alloh menghendaki, jiwa-jiwa itulah yang mereka bawa dua puluh lima tahun yang akan datang untuk menjadi pribadi dewasa untuk melanjutkan estafet perjuangan ini.

Bertekadlah untuk meluaskan dada kita saat mereka menyulitkan kita, maafkanlah mereka. Karena Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya Alloh merahmati orang tua yang membantu anaknya berbakti kepadanya, kata Nabi saw.. Orang-orang di sekeliling beliau bertanya, ”Bagaimana cara orang tua membantu anaknya, ya Rasulullullah?” Nabi saw. Menjawab, ”Dia menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, tidak membebaninya, dan tidak memakinya.”

Bersikap lembutlah pada mereka, tidak hanya pada saat mereka menampakkan senyum lucu yang manis, atau ketika ia berceloteh menggemaskan. Dalam keadaan membuat kita susah pun, kelembutan itu tetap ada pada kita.

Sesungguhnya, kelembutan adalah sifat yang dicintai Alloh dan Rasul-Nya. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Asyaj Abdul Qais,”Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Alloh, yaitu sifat lembut dan berbudi luhur.” (HR. Muslim)

Dalam hadits yang lain, Rasululloh saw. Pernah bersabda kepad istrinya, A’isyah radhiallahu’anha. Kata Nabi saw., “Wahai A’isyah, milikilah sifat ramah dan kasih sayang karena sesungguhnya apabila Alloh menghendaki kebaikan dalam sebuah penghuni rumah, Allah akan menunjukkan kepada mereka sifat ramah.” (HR. Ahmad).

Berkaitan dengan kasih sayang terhadap anak, Rasululloh menegaskan,
”Sesungguhnya pada setiap pohon terdapat buah dan buahnya hati adalah anak. Sesungguhnya Alloh tidak akan mengasihi mereka yang tidak mengasihi anaknya. Dan demi nyawaku yang berada di tanganNya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang memiliki sifat kasih sayang.” (HR Al-Bazzaar)

Sesungguhnya, Alloh tidak akan mengasihi mereka yang tidak mengasihi, begitu Rasulullah saw. memperingatkan kita atas anak-anak yang kita lahirkan. Rasululloh saw. telah memberi contoh tentang bagaimana memperlakukan anak-anak kita.

Acapkali terjadi, Rasululloh turun dari mimbarnya menyongsong al-Hasan dan al-Husain, lalu menggendong dan menciumi mereka seraya mendoakan. Kasih sayang dan perhatian yang besar, juga diberikan kepada putrinya terkasih, Fathimatuz Zahra.

Aisyah menceritakan kepada kita salah satu fragmen kehidupan Rasululloh saw.. Kata Aisyah r.a., ”Tidak ada orang yang paling mirip dengan Rasululloh saw. dalam cara bicara, berjalan, dan duduknya selain Fathimah. Bila Fathimah datang, Rasulullah saw. menyambutnya dengan berdiri. Ia memegang tangan Fathimah dan menciumnya. Lalu didudukkannya di majlisnya.”

Begitu Nabi memperlakukan anak dan cucunya. Rasulullah saw. memperlihatkan kepada kita bagaimana harus memperlakukan anak-anak kita sehingga antara anak dan orang tua bisa terjalin hubungan yang sangat akrab dan mesra.

Di antara persoalan-persoalan pendidikan anak, termasuk kasus-kasus remaja yang melakukan tindakan kriminal, ternyata banyak yang berasal dari kurang mesranya hubungan orang tua dan anak. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak termasuk mereka yang terlambat dan menyesal di kemudian hari.

Semoga Alloh selalu memberikan kita hidayah taufik. Semoga tidak ada lagi mata yang membelalak ketika anak-anak kita bersuara keras, lantaran memanggil berkali-kali tidak kita sahut dengan baik.

Ya, karena seberapa besar keikhlasan, rasa cinta, dan tanggung jawab orang tua terhadap sang anaklah yang akan menjadi ukuran seberapa besar tabungan kebaikan kita pada mereka, kelak itu pula yang akan kita tuai, di dunia dan di akhirat.

”Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. Siapa yang menghendaki, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya.” (HR. Ath Thabrani). Demikian Nabi saw. menasehati.

Menghasilkan anak yang berkualitas itu bukan perkara mudah sebagaimana menjadi orang tua yang baik juga bukan hal yang gampang.

Namun, bukan hal yang mustahil. Dengan kehendakNya, jika kita mau dan sungguh-sungguh untuk terus belajar dan belajar. Anak adalah hasil orang tuanya. Kernanya, kaki jangan pernah surut ke belakang, sebab masih banyak ilmu yang harus dicari dan masih banyak kearifan yang harus diselami.

Mintalah senantiasa pertolongan Alloh agar Ia memberi kita kemudahan untuk menyediakan atmosfer terbaik untuk tumbuh kembang mereka. Na’udzubillahi min dzalik. Wallohu'alam.

Menjelang Subuh, 29 Syawal 1431, 9 September 2010.

Ummu Mesia (Eva Rahayu); Ibu dari dua putra; Mesia Abdulloh (2th 6bl) dan Utruj Robbani (1th 4bl); Website: muslimahsukses.com
sumber : http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/mengurus-anak-adalah-investasi.htm