Sabtu, 30 Oktober 2010

NOBODY'S PERFECT !

Ini kisah pertemuan kembali dua sahabat yang sudah puluhan tahun berpisah. Mereka merindukan satu sama lain. Mereka bercerita, bersenda sambil minum kopi di sebuah café'. Awalnya topik yang dibicarakan adalah soal-soal nostalgia zaman sekolah dulu, namun pada akhirnya menyangkut kehidupan mereka sekarang ini.

"Mengapa sampai sekarang kau belum menikah?" Ujar Latif kepada temannya Burhan yang sampai sekarang masih membujang.


"Hmmm...sebenarnya sampai sekarang ini aku masih belum bertemu dengan seorang wanita yang sempurna. Itulah sebabnya aku masih membujang.Dulu waktu aku bekerja aku berjumpa dengan seorang wanita yang cantik dan bijak. Aku fikir itulah wanita yang ideal untuk aku dan sesuai dijadikan isteri."


"Namun tidak lama selepas mengenalinya..ketika hubungan semakin dekat baru aku tahu dia sebenarnya amat sombong. Hubungan kami putus sampai di situ"

“Setelah itu aku bertemu seorang perempaun yang cantik jelita, ramah dan dermawan. Pada pertemuan pertama aku begitu takjub. Jantungku berdenyut kencang dan ketika itu aku pun berfikir bahwa inilah wanita idealku. Namun selepas mengenalinya dengan lebih dekat baru aku tahu banyak tingkahlakunya yang tak baik dan tidak bertanggung jawab.”

”Kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita yang manis, baik, periang dan pintar. Dia sangat menyenangkan bila diajak berbicara. Selalu menyambung pembicaraan kami dan penuh humor. Tapi terakhir aku ketahui ia dari keluarga yang berpecah belah dan selalu meminta di luar kemampuan. Akhirnya kami berpisah."

"Aku terus mencari, namun sering mendapati ada kekurangan dan kelemahan pada setiap wanita yang aku temui. Hingga pada suatu hari, aku bertemu dengan wanita ideal yang aku dambakan selama ini. Dia begitu cantik, pintar, baik hati , dermawan dan penuh humor. Dia juga sangat perhatian dan menyayangi orang lain. Aku fikir inilah pendamping hidup yang dikurniakan oleh Tuhan untuk aku..."

"Kemudian bagaimana?" kata Latif tidak sabar melihat Borhan diam seketika.

" Apa yang terjadi? Bagaimana hubungan kau dengan dia sekarang?" tanya Latif lagi sewaktu mendapati Burhan terus diam.

Kemudian....Burhan bersuara perlahan,"Sebenarnya beberapa hari lalu baru aku mengetahui bahawa wanita itu juga sedang mencari seorang lelaki yang sempurna..."


Faham dengan apa yg tersirat di atas?

No body's Perfect!
Jangan menyia-siakan siapapun yang ada di hadapan kita.
Belum tentu kita akan mendapat lebih baik daripada apa yang kita ada sekarang.


Kalau kita mau mencari kesempurnaan,
cermin dahulu diri, apakah sudah sempurna di mata orang lain.


Wahai Lelaki, luruskan wanita dengan jalan yang ditunjukkan Allah.
Didiklah mereka dengan panduan daripada-Nya.


Jangan coba jinakkan mereka dengan harta,
karena nanti mereka semakin liar.


Jangan menghibur mereka dengan kecantikan,
karena nantinya mereka yang semakin menderita.


Kenalkan mereka kepada Allah, zat yang kekal…
karena di situlah puncak kekuatan dunia.


Akal wanita setipis rambutnya,
tebalkan ia dengan ilmu.


Hatinya serapuh kaca,
kuatkanlah dengan iman.


Wanita tanpa iman, ilmu dan akhlak
mereka tidak akan lurus bahkan membengkok.


Bila wanita durhaka,
dunia lelaki akan huru-hara.


Lelaki pula janganlah terlalu mengharapkan ketaatan…
tetapi binalah kepimpinan.


Pastikan sebelum memimpin wanita menuju Ilahi,
pimpinlah diri sendiri kepada-Nya.


Jinakkan diri kepada Allah,
niscaya jinaklah segala di bawah pimpinanmu.


Jangan mengharapkan isteri semulia Fatimah Az-Zahra,
seandainya peribadi tidak sehebat Sayidina Ali Karamallahu Wajhah.....
Begitu jugalah sebaliknya.


NO BODY'S PERFECT !
Cinta bukanlah mencari pasangan yang sempurna, tapi menerima pasangan kita dengan sempurna (Sakinah Bersamamu, Asma Nadia) 

Jalan Cinta Para Pejuang : Mencintai Sejantan 'Ali

Judul buku : Jalan Cinta Para Pejuang 
Penulis      : Salim A Fillah
Penerbit   : Pro U Media

Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
-M. Anis Matta-

Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah

chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh mempesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
 

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.


Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.


Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulullah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
 

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.


Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,

dalam suatu riwayat dikisahkan

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

Fathimah berkata kepada ‘Ali,

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kisah ini disampaikan disini,

bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an

Kisah ini disampaikan

agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah

bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu

Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba

Selasa, 26 Oktober 2010

Hadiahkan Cahaya Buat Orang Tua Kita Yuuk ....^_^

Sahabatku  yang dirahmati Allah, seringkali kita ingin membahagiakan orang tua kita dengan berbagai fasilitas dan menuruti keinginan-keinginan duniawinya agar disebut sebagai anak yang berbakti, atau juga kita sebagai orang tua seringkali terlalu banyak menuntut kepada anak-anak kita agar menjadi anak yang sukses secara duniawi agar kita kelak bisa menjalani masa pensiun dengan aman dan nyaman, namun kita sering terlupa apakah kekayaan-kekayaan yang telah kita raih dan kita kumpulkan itu sangat berarti ketika orang tua kita atau kita sendiri telah meninggalkan Dunia ini ? dibawah ini kisah yang perlu kita renungkan dan segera kita lakukan secara konsisten.


Dikisahkan, pada suatu malam Abu Qolabah bermimpi berada disuatu pemakaman . Tiba-tiba ia menyaksikan kuburan-kuburan yang ada disitu terbelah. Mayat- mayat keluar dari kuburnya dan duduk-duduk di tepi
kuburan itu. Ditangan mereka seolah- olah ada yang memegang nampan yang terbuat dari cahaya yang kemilau.




Sementara sebagian mereka terlihat dengan tangan hampa, tanpa cahaya sedikitpun. Maka Abu Qolabah bertanya kepada mereka : “Aku lihat diantara kedua tangan Anda terdapat cahaya pertanda apakah itu? “ Mayat-mayat serempak menjawab :”Sesungguhnya kami mempunyai beberapa anak dan teman yang saling menghadiahkan kepada kami. Mereka bersedekah dan berderma didunia dan diniatkan pahalanya untuk kami. Dan Nur inilah buah dari apa yang mereka persembahkan untuk kami.”




Sementara mayat- mayat yang bertangan hampa , tanpa sinar memancar menjawab,: “Kami mempunyai anak yang tidak shaleh dan tidak mau mendoakan serta tidak berbuat baik bagi kami. Oleh karena itu kami tidak memiliki nampan bercahaya. Dan kami sangat malu terhadap tetangga- tetangga kami ini.”




Ketika Abu Qolabah terbangun kemudian Abu Qolabah segera menuju rumah si anak yang disebut oleh laki-laki dalam mimpinya itu. Dan menceritakan semua kejadian yang dialaminya dalam mimpi, khususnya pertemuan dengan ayah anak itu yang sangat mengharapkan doa dan sedekah ( yang diperuntukkan untuk si ayah) dari anaknya itu.




Lalu lelaki itu berkata :” Saya bertobat kepada Allah dari segala kemaksiatan dan dosa yang pernah saya lakukan. Saya tidak akan kembali kejalan itu lagi selamanya.” Semenjak itu , ia menyibukkan dirinya hanya untuk taat kepada Allah SWT, berdoa dan bersedekah yang ditujukan kepada orang tuanya yang telah tiada… Kini dia benar-benar telah menjadi anak yang shaleh. Dia membalas kebaikan orang tuanya dan berbakti kepada keduanya yang telah meninggal dengan cara mendoakan dan bersedekah untuknya.




Setelah beberapa hari berlalu , Abu Qolabah kembali bermimpi berada disekitar kuburan yang dulu lagi. Semua penghuni kubur keluar dengan keadaan seperti yang dilihatnya pada mimpi sebelumnya. Laki-laki yang dulu terlihat murung, kini sudah tak murung lagi. Wajahnya tampak berseri-seri. Laki-laki itu telah memiliki nampan yang bercahaya pula. Bahkan nampan miliknya lebih bersinar daripada yang lain.




Laki-laki itu berkata kepada Abu Qolabah, "Abu Qolabah, semoga Allah membalas kebaikanmu. Karena nasihatmu, anakku selamat dari api neraka dan juga aku terhindar dari rasa malu berkumpul dengan orang-orang disini".




*** Rasulullah SAW bersabda: Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal: Shodaqah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan Anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya (Al-Hadits)




Sudah sejauhmanakah kita MENGHADIAHKAN CAHAYA buat orang tua kita ? Sudahkah bisa diharapkan anak-anak kita MAMPU MENGHADIAHKAN CAHAYA buat kita kelak ?

Note : copaste dr fb kawan smg bisa diambil hikmahnya